Zero Waste Community, Edukasi Pentingnya Pengelolaan Sampah Kampus
Persoalan sampah memang tidak ada habisnya karena setiap harinya sampah selalu dihasilkan. Sayangnya, tidak banyak orang peduli tentang sampah. Terlebih tentang bagaimana mengelola sampah agar menjadi ramah lingkungan. Di kampus pun, hal ini masih terbatas diperbincangkan. Sehingga melalui forum diskusi tentang permasalahan sampah munculah gagasan untuk membentuk Zero Waste Community.
Disampaikan Syahruli, selaku Ketua Zero Waste Community bahwa komunitasnya berupaya memberikan edukasi bagaimana sampah dapat diolah semaksimal mungkin dan meminimalisir sampah masuk ke tempat pemrosesan akhir (TPA).
“Berdirinya Zero Waste Community UII sendiri dimulai pada 4 April 2016, yang diprakarsai oleh Fajri Mulya Iresha, ST., M.T, Dosen Teknik Lingkungan bersama mahasiswa Teknik Lingkungan yang peduli tentang sampah”, ungkap mahasiswa UII itu.
Saat ini Zero Waste Community telah mampu menjaring 73 orang anggota yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa Teknik Lingkungan UII. Komunitas ini dipayungi oleh Divisi Pengabdian Masyarakat di Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan (HMTL) FTSP.
“Kami membagi tempat sampah menjadi 4 klasifikasi yaitu sampah organik, sampah daur ulang, residu, dan kertas. Jadi kita menyebar tong sampah sesuai stikernya dengan harapan yang membuang sampah bisa langsung memilihanya sendiri, dan tong sampah tersebut kita letakkan di tempat-tempat yang strategis yang bisa terjangkau”. Ungkap Syahruli.
Upaya itu menurutnya lebih efektif ketimbang membiarkan sampah tercampur aduk dalam satu tong sampah tanpa stiker. “Karena sampah tersebut telah tercampur, jadi harus dicuci lagi. Padahal tujuannya untuk memisahkan sampah organik, sampah anorganik, sampah daur ulang, dan sampah plastik. Sehingga fokus penyelesaian diubah ke sumbernya yaktu tong sampah”, jelasnya.
Bergelut Bersama dengan Sampah
Rahmad, salah satu anggota di komunitas tersebut, mengaku sangat antusias dengan kegiatan yang diusung Zero Waste Community. Awalnya ia merasa jengah melihat banyaknya sampah yang tidak terkelola dengan baik, sehingga ia merasa terpanggil untuk menanggulanginya.
Dijelaskan Rachmad, kegiatan rutin yang diikuti anggota komunitas mulai dari memilah sampah (Senin-Kamis). Mereka juga mensosialisasikan program zero waste ke cleaning service untuk mengangkut sampah dari sumber ke rumah kaca (basecamp) untuk selanjutnya dilakukan pemilahan sampah.
“Kalo ngumpul kita itu biasanya menyebutnya Ngompos yaitu ngombrol persoalan sampah, biasanya kita memilah sampah-sampah yang ada kampus itu kan, lalu kita pisahkan yang plastik dan sampah sisa makanan untuk olah”. Ungkap Rachmad.
Sampah Disulap Jadi Aneka Produk Kreatif
Setelah dipisahkan dan dibersihkan, sampah ternyata dapat disulap menjadi aneka produk kreatif. Syahruli mencontohkan sampah organik seperti daun atau makanan dapat dijadikan Biopori dan kompos. Biopori berfungsi sebagai lubang untuk resapan air ke dalam tanah.
“Cara pembuatannya bisa menggunakan pipa ukuran 3,5 inchi lalu menggali lubang sesuai ukuran pipa, selanjutnya pipa tersebut dimasukkan ke tanah yang sudah dilubangi dan dimasukkan sampah organik, lalu di atasnya ditutup namun hasrus dilubangi seperti pori-pori agar udara bisa masuk”, terangnya.
Sedangkan untuk sampah anorganik seperti plastik, dapat dibuat Ecobrick. Ecobrick dapat digunakan sebagai media tanam bagi tanaman tertentu, seperti anggrek dan pakis. Cara pembuatannya cukup mudah yakni dengan memasukkan plastik kering ke dalam botol lalu dipadatkan hingga tidak ada rongga.
Ecobrick juga bisa dibuat dengan menggulung plastik hingga membentuk bulatan lalu direkatkan dengan api hingga menyerupai kerikil dan ditambah dengan air sumur. Setalah itu lalu dimasukkan biji. Ecobrick dapat mendaur ulang limbah plastik yang sulit diurai.
“Kami ingin mengubah mindset bahwa manusia tidak hanya menghasilkan sampah, namun mempunyai PR bagaimana mengelola sampah yang telah kita hasilkan. Bukan hanya sekedar membuang, tetapi mengolah juga”, Pungkas Syahruli. (NA)