Yuk Kenali Apa Itu Peraturan Perundang-Undangan
Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII menyelenggarakan Kuliah Umum Konstitusi, bertemakan “Menguji Daya Lenting Konstitusi di Tengah Turbulensi” pada Senin (30/8). Kuliah umum ini merupakan seri yang ke-5 dengan pembicara Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Ia merupakan Hakim Konstitusi RI 2008-2018 dan Guru Besar HTN/Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Prof. Maria Farida Indrati menjelaskan gagasan konstitusionalisme yang menghendaki bahwa kekuasaan itu perlu dibatasi. Ini bertujuan agar penyelenggaraan negara tidak dilaksanakan secara sewenang-wenang atau otoriter. Pembatasan-pembatasan tersebut dimuat di dalam konstitusi yaitu Undang-undang Dasar (UUD), sehingga masyarakat dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah.
Sistem pemerintahan di Indonesia terbagi menjadi tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pembentukan UU menjadi kewenangan legislatif DPR, DPD, dan DPRD, bersama eksekutif yakni Presiden. Dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan, pemerintah harus mengacu pada ketentuan UU.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 22A yang menyebutkan bahwa ketentuan pembentukan UU diatur dengan UU. Ketentuan inilah yang kemudian dimuat dalam UU No 10/2004 yang kemudian diubah dengan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Ditambahkan Prof. Maria, pembentukan peraturan perundang-undangan dapat didasarkan pada dua hal. Pertama, atribusi, adalah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh UUD atas UU kepada suatu lembaga negara/pemerintahan.
Kedua, delegasi, adalah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Pelimpahan tersebut dapat dinyatakan dengan tegas maupun tidak.
Berkaca pada amandemen UUD 1945 terkait pengaturan pembentukan peraturan perundang-undangan, ia berpendapat amandemen ini bukan menguatkan kekuasaan legislatif, melainkan masih menguatkan kekuatan eksekutif.
Seperti dicontohkan dengan ketentuan Pasal 20 UUD 1945 pasca amandemen yang mewajibkan peraturan dibahas dan disetujui bersama Presiden. Hal ini menurutnya, secara tidak langsung memberikan kekuasaan yang besar kepada Presiden.
“Jika presiden setuju, rancangan peraturan itu bisa jadi UU. Tapi apabila Presiden tidak setuju, ya itu tidak bisa disahkan jadi UU,” ujarnya.
Terakhir, ia menegaskan terkait hierarki peraturan perundang-undangan, seharusnya UUD 1945 dan Tap MPR tidak termasuk ke dalam hierarki. Menurutnya, UUD 1945 dan Tap MPR sifatnya adalah ketetapan dan tidak bersifat mengatur. Sedangkan peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur itu adalah dari UU/Perppu ke bawah hingga peraturan daerah. (EDN/ESP)