Yang Nabi Contohkan Ketika Menghadapi Pandemi
Pandemi Covid-19 memberikan dampak luas bagi kehidupan manusia. Di samping kesehatan, Covid-19 juga ikut meredupkan aktifitas ekonomi dan sosial. Namun jika menulusuri masa silam, pandemi dalam skala yang berbeda juga pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. Hal yang menarik adalah beberapa konsep melawan penyebaran pandemi sudah dikenal pada masa itu.
Salah satunya yakni konsep karantina. Disampaikan Direktur Pondok Pesantren UII, Dr. Asmuni, Mth, MA karantina dapat dikatakan sebagai konsep Islam pada masa awal untuk menyelamatkan nyawa manusia dari ancaman kematian akibat wabah penyakit menular. Karantina didefinisikan sebagai ukuran sasaran orang yang terpapar penyakit menular, apakah mereka tertular penyakit tersebut atau tidak.
Di dalamnya, orang-orang yang bersangkutan diharuskan untuk tinggal di rumah atau di tempat lain untuk mencegah penyebaran penyakit lebih lanjut ke orang lain, dan untuk secara hati-hati memantau efek penyakit pada mereka dan kesehatannya. Seorang sahabat juga pernah berkata, “Wabah itu adalah api sedangkan manusia adalah bahan bakarnya, maka hendaklah manusia memisahkan diri dengan manusia yang lain. Dengan cara ini api tidak akan menemukan bahan bakarnya”, jelas Asmuni.
Karantina dan isolasi dilaksanakan sebagai langkah untuk menahan dan mencegah penularan penyakit menular. “Rasulullah juga mengatakan bahwa orang yang sedang terinfeksi oleh penyakit menular harus dijauhkan dari orang sehat lainnya”, tambah Asmuni.
Mendorong untuk menjaga kebersihan
Selain karantina, Nabi Muhammad SAW juga mendorong ketulusan orang untuk menjaga kebersihan pribadi sehingga aman dari infeksi. Lihatlah misalnya hadis yang populer “annazofatu syathrun minal amin” atau “kebersihan adalah bagian dari iman”. Hadis tersebut seakan mengingatkan setiap orang bahwa kesehatan merupakan cerminan nilai keimanan seseorang dari sudut sosial dan keimanan kepada Allah SWT sebagai wujud keimanan pribadi.
Upaya yang tak kalah penting adalah Nabi mengajak umatnya berikhtiar lewat pengobatan. Seperti dalam sebuah hadist, ia mengatakan “tidak ada penyakit kecuali Tuhan telah menurunkan obatnya kecuali satu penyakit yaitu menua”.
Ini artinya Nabi sangat tahu kapan harus menyeimbangkan antara iman dan akal. “Kita tidak boleh menjadi pengikut keyakinan fatalistik (jabariyah) seperti juga tidak boleh menafikan (qadariyah) Tuhan yang akan menolong”, ungkap Asmuni.
Menghadapi kondisi pandemi, upaya rohani dengan meningkatkan ibadah kepada Allah SWT dan mengamalkan nilai-nilai Al-Qur’an juga berperan penting. Menurut Asmuni, sebagai ikhtiar maka cukup mengamalkan tanpa batas:
“Bismillahirrahmanirrahim” dan “Ala Ya’lamu min Kholaqo Wahuallatifulkhobir”
Apa yang saya maksud tanpa batas? “Membaca basmalah tidak dalam jumlah tertentu, tetapi setiap kita memiliki kesempatan”, jawab Asmuni.
Para ulama’ mengatakan basmalah itu penuh berkah, barang siapa membacanya secara kontinue, Insya-Allah semua harapannya akan terwujud. Sedangkan alasan Asmuni: Allah menurunkan Kitab dari langit ke bumi sebanyak 104 suhuf (sahifah). Nabi Syis menerima 60 suhuf. Nabi Ibrahim menerima 30 suhuf. Dan 10 suhuf diterima oleh nabi Musa sebelum Taurat, dan ditambah Taurat, Injil dan Zabur serta yang terakhir adalah al-Furqan yaitu Al-Qur’an. Semua kandungan kitab-kitab samawi tersebut terakumulasi di dalam Al-Qur’an. “Semua inti Al-Qur’an terakumulasi di dalam al-Fatihah, dan makna al-fatihah terkumpul di dalam basmalah yang mana makna basmalah terletak pada hurruf al-ba’ (ب)”, tambah Asmuni.
Tidak dipungkiri bahwa Allah SWT adalah Dzat Sang Pemegang Kekuasaan dan Pengetahuan Tak Terbatas. Namun sebagian kekuasaan itu diberikan kepada manusia dan kepada alam. Keduanya dituntut mampu melakukan komunikasi dan dialektika dalam rangka membangun kebersamaan dan keharmonisan. “Dengan kata lain kekuasaan manusia dan alam yang terbatas itu akan dikendalikan oleh kemahakuasaan Allah yang tiada batas”, tutup Asmuni. (SF/ESP)