Wisudawan, Teruslah Belajar!
Alhamdulillah. Hari ini UII mewisuda 1.040 lulusan: 94 ahli madya, 853 sarjana, 90 master, dan 3 doktor. Sampai hari ini, UII telah meluluskan 92.352 alumni. Mereka adalah anak panah UII yang dilesatkan ke masyarakat, dengan harapan mereka dapat berkontribusi: menebar manfaat dan membuat dampak.
Dalam seremoni wisuda pagi tadi, saya pun berkesempatan untuk menyampaikan beberapa pesan dalam kata Sambutan Rektor kepada seluruh wisudawan. Pesan-pesan pelepas wisuda itu saya tuliskan kembali dalam catatan blog saya kali ini:
Sebuah tahapan dalam hidup Saudara baru terselesaikan. Masih banyak tahapan lain yang menunggu ditunaikan. Namun, saya yakin, jika semuanya dibungkus dengan niat lurus, dibingkai dengan pengabdian kepada Sang Khalik, insya Allah semuanya akan mudah.
Studi dengan niat lurus, kata Nabi dalam sebuah Hadis, laksana berada di jalan Allah dan penuntut ilmu oleh Allah akan dimudahkan jalannya ke surga. Saudara semua selama menuntut ilmu adalah para mujahid.
“Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah hingga ia pulang”. (HR Tirmidzi)
“Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari suatu ilmu, niscaya Allah memudahkannya ke jalan menuju surga”. (HR Muslim)
Namun perlu disadari sepenuhnya, perkuliahan di perguruan tinggi, bukanlah akhir sebuah perjalanan studi. Dalam pandangan Islam, belajar adalah misi sepanjang hayat, selama nyawa masih melekat, selama nafas belum tersendat. Tidak ada garis finis dalam belajar.
Dunia nyata yang akan Saudara masuki adalah kelas belas tanpa dinding, kampus tanpa pagar, laboratorium hidup (living labs). Saudara dapat belajar banyak hal, yang belum sempat Saudara pelajari di kampus. Pelajaran yang Saudara dapatkan di bangku kuliah, adalah modal dasar untuk belajar lebih lanjut.
Sebagian besar dari Saudara adalah generasi milenial, yang lahir dalam suasana yang berbeda dengan ketika saya dan sebagian besar Ibu Bapak dosen dan orangtua Saudara lahir. Tantangan Saudara berbeda dengan yang kami hadapi. Tantangan kami dulu adalah kemiskinan informasi, sebagai contoh. Kami harus pandai dalam mencarinya. Tantangan Saudara, sebaliknya, yaitu banjir informasi. Saudara harus bijak dalam memilihnya.
Karenanya, selalu kembangkan kemampuan adaptasi yang baik. Belajar tanpa henti adalah salah satu caranya. Belajar di sini tidak hanya diartikan membaca teks dalam buku, tetapi lebih penting daripada itu adalah membaca realitas di hadapan mata (QS 88:17-20; QS 3:190).
Sensitivitas dalam membaca masalah penting untuk diasah. Kemampuan identifikasi pola masalah akan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan. Kualitas pada masa depan tidak cukup menjadi pembeda yang distingtif. Kualitas tanpa kecepatan akan menjadikan kita kehilangan momentum. Kemampuan (ability) menghasilkan kualitas, tetapi keterampilan (skill) menjamin kecepatan.
Meskipun sudah lulus satu tahapan pendidikan, untuk yang menjadi doktor sekalipun, ilmu yang kita dapatkan sangat di sedikit. Manusia tidak diberi ilmu oleh Allah, melainkan hanya sedikit (QS 17:85). Ilmu Allah tidak bertepi, tak berbatas.
“Katakanlah (wahai Muhammad): Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS 18:109)
Karenanya, di sini, keluhuran budi, kemuliaan watak, kesucian hati, diperlukan.
Tak seorang pun di dunia ini yang berhak untuk menepuk dada. Dari tukang kerak telor, sampai doktor; dari masinis, sampai doker spesialis; dari pembuat batagor, sampai profesor; dari petani, sampai kiai; dari nelayan, sampai dekan; dari mandor, sampai rektor; dari penjual petasan, sampai ketua yayasan; dari mantri, sampai menteri; dari sinden, sampai presiden. Tak seorang pun yang mempunyai legitimasi untuk sombong.
Kesombonganlah yang menjadikan iblis dilaknat oleh Allah. Satu-satunya yang berhak untuk sombong hanyalah Allah subhanahu wata’ala. Al-mutakabbir.
Sombong tidak ada dalam kamus pembelajar sejati. Kesombongan akan menutup pintu peningkatan kualitas diri. Karenanya, tetaplah selalu rendah hati, tawadlu’. Hanya dengan sikap inilah, kita akan menerima masukan dari banyak sumber pembelajaran.