Waspadai Masalah Kesehatan Mata Saat Pandemi
Pengguna internet meningkat sejak pandemi Covid-19. Hal ini berkelindan dengan pemakaian alat elektronik berlayar seperti laptop, komputer, maupun smartphone. Penggunaan alat-alat tersebut secara berlebihan dapat menimbulkan Computer Vision Syndrome (CVS) atau Digital Eye Strain (DES).
Sebagaimana disampaikan dr. Nia Ariasti, Sp.M dalam Webinar Pengabdian Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) pada (19/03). Ia menerangkan faktor yang mempengaruhi CVS adalah durasi pemakaian dan posisi yang kurang sesuai. Dulunya orang yang menderita CVS paling banyak diderita oleh pekerja kantoran.
Penelitian di Amerika Serikat oleh Vision Council mengatakan setidaknya 60% pria Amerika dan 65% perempuan menderita CVS. “80% orang dewasa menggunakan gawai 2 jam per hari,” terangnya.
Lebih lanjut, dr. Nia menjelaskan jika seseorang menggunakan gawai terus menerus ditambah penggunaan gawai lebih satu, maka risiko naik sebesar 75% lebih tinggi. CVS sendiri merupakan keluhan atau ketidaknyamanan pada mata yang disebabkan oleh penggunaan alat dengan Visual Display Terminal (VDT). “VDT berbahaya karena mengeluarkan radiasi infra merah dan visible spectrum of light,” jelasnya.
Gejala VDT bisa dikenali apabila didapati gejala mulai dari penglihatan kabur, penglihatan ganda, nyeri mata, mata lelah, dan mata kering. Keluhan lainnya yang dilaporkan adalah nyeri pada bahu, nyeri leher, kaku leher, hingga nyeri punggung. “Pada orang dewasa dengan usia lebih dari 45 tahun dengan presbiopi maka gejalanya lebih parah,” tambahnya.
Tak hanya menimbulkan gangguan pada mata, menurut dr. Nia, CVS juga bisa menurunkan kualitas tidur seseorang. Sinar biru yang dipancarkan oleh VDT dapat mengganggu pengaturan hormon tidur, yakni melatonin.
Menyinggung pengajaran daring yang diberlakukan hampir di seluruh tingkatan sekolah. Mau tak mau anak-anak dipaksa untuk menggunakan gawai lebih dari waktu yang seharusnya. Ia berpendapat bahwa anak usia 2-5 tahun per hari sebaiknya hanya menghabiskan waktu screen time maksimal satu jam.
“Anak-anak dengan screen time >2 jam per hari, lebih sering terkena ADHD (gangguan emosi),” tambahnya.
Terakhir, dr. Nia memberikan tips guna menurunkan risiko untuk terkena VCS pada era pandemi ini. Penggunaan timer dianjurkan saat kita tengah beraktivitas menggunakan gawai. Setiap 20 menit melihat gawai kita harus melihat keluar jendela objek bebas guna membuat mata rileks.
Hindari penggunaan gawai di bawah sinar terik matahari. Seringkali saat fokus mengerjakan sesuatu seseorang akan lupa untuk mengedipkan mata. “Mengedipkan mata akan membuat mata tidak kering dan melindungi mata dari debu,” jelasnya.
Sementara itu, dr. Artati Sri Rejeki, Sp.M kepada peserta menjelaskan penyakit glaukoma. Glaukoma merupakan penyakit mata yang diakibatkan oleh kerusakan saraf penglihatan. Kerusakan tersebut terkait dengan peningkatan tekanan di mata. Apabila tidak ditangani cepat dan tepat bisa menimbulkan kebutaan permanen.
Gejala glaukoma yang bisa dikenali adalah kesulitan dalam melihat atau lapang pandang sempit. Penderitanya seringkali tersandung saat berjalan karena terbatasnya penglihatan bagian pinggir. Apabila gejalanya masih ringan maka bisa diatasi dengan obat-obatan, namun jika parah maka harus di operasi guna menurunkan tekanan di mata penderita. (UAH/ESP)