Verifikasi Parpol Pasca Putusan MK
Adanya putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 tentang verifikasi partai politik (parpol) yang menyebutkan bahwa partai politik yang telah lolos verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Thershols pada Pemilu 2019 tetap diverfikasi secara administrasi, tetapi tidak diverifikasi secara faktual, tentunya berimplikasi pada institusionalisasi parpol dalam pelaksanaan pemilu. Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menyelenggaran diskusi actual secara virtual yang bertemakan “Verifikasi Parpol Pasca Putusan MK Langkah Mundur Institusionalisasi Parpol?” pada Rabu, (30/6) melalui zoom meeting.
Dosen HTN dan Peneliti PSHK FH UII, Jamaludin Ghafur, S.H., M.H. mengatakan setidaknya ada dua inti pertimbangan hakim dalam putusan MK tersebut. Pertama, ketentuan ini berdasarkan pada tujuan efesiensi anggaran. Dengan tidak diwajibkan ferivikasi faktual bagi parpol yang telah memenuhi Parliamentary Thershols pada tahun 2019 akan mengurangi biaya ferivikasi parpol yang cukup besar.
Kedua, MK mengartikan keadilan dapat dilaksanakan secara proposional. Yakni tidak harus, tetapi memberikan sesuatu sesuai dengan porsinya masing-masing. Padahal menurutnya, putusan ini masih kurang tepat. Pasalnya, jika melihat pada tujuan ferivikasi parpol, ada tiga hal utama yang dituju dalam sistem ferivikasi ini, yaitu: 1) penyederhanaan parpol yang masuk ke pemilu, 2) pengakaran dalam masyarakat, yang artinya parpol itu harus memiliki pangaruh yang kuat di masyarakat, dan 3) peningkatan kwalitas parpol itu sendiiri.
“Menurut saya, terkait tujuan ferivikasi parpol tentang pengakaran dalam masyarakat dan peningkatan kwalitas parpol, itu masih sama dalam parpol kita. Yaitu pengakarannya belum kuat di masyarakat dan kwalitas parpolnya juga masih rendah. Sehingga, seharusnya tidak ada yang dibedakan dalam ferivikasinya,” ujar Jamaludin Ghafur.
Jamaludin menambahkan bahwa dikhawatirkan akan banyak muncul partai-partai sintetis ke depannya, yaitu partai yang hidup matinya bukan lagi karena dukungan aktivis dan masyarakat, melainkan dari seberapa kuat parpol itu dalam mengakses fasilitas negara. Hidup matinya partai ditopang oleh kekuasaan negara, bukan lagi dari dukungan masyarakat.
“Selain itu, saya khawatir kalau ferivikasi bagi parpol yang telah memenuhi Parliamentary Thershols pada tahun 2019 hanya diwajibkan verifikasi administratif saja, maka tentu dalam konteks pengakaran di masyarakatnya akan semakin menjauh. Mereka tidak lagi menggunakan dukungan masyarakat untuk memenangkan pemilu, tapi mereka akan lebih menggunakan sumberdaya negara untuk memenangkan pemilu. Ini menurut saya akan menjauh dari konsep demokrasi,” pungkasnya.
Kemudian, Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, Moch. Nurhasim, S.IP, M.Si mengatakan verifikasi partai awalnya berawal dari sistem pendirian partai sebagai perwujudan dari Pasal 28 dan 28 E UUD 1945. Kemudian, dalam perkembangannya yang semakin pesat memunculkan ketentuan syarat partai harus berbadan hukum yang diatur dalam Pasal 3 UU No 2 Tahun 2011, yang disederhanakan lagi jumlahnya dengan ketentuan pemenuhan syarat untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dari sistematika ini, menurutnya yang menjadi problematika adalah tidak adanya evaluasi terhadap parpol-parpol di Indonesia terkait pemenuhan syarat-syarat tersebut.
“Selain itu, problem lainnya terkait verifikasi syarat parpol untuk memperoleh badan hukum dengan syarat sebagai calon pemilu itu tidak sama, dalam penyelesaian sengketa verifikasi parpol pun sering berbeda antara Bawaslu dengan PTUN, dan kerap kali lembaga peradilan kurang memahami original intens dari persoalan verifikasi parpol itu sendiri,” ucapnya.
Adapun, terkait Putusan MK No 55/PUU-XVIII/2021, menurutnya belum mengakomodir persoalan-persoalan yang ada dalam parpol itu sendiri yang hanya wajib dipenuhi melalui verifikasi faktual, terkait oligarki dan personalisasi, organisasi partai menjadi sentralistik, organisasi partai tergantung pada orang yang kuat, mandegnya kaderisasi dan minimnya basis rekrutmen politik, dll, melainkan MK dalam putusannya hanya berfokus pada semangat penyederhaan parpol untuk menjadi peserta pemilu.
“Dengan ini, dikhawatirkan akan memungkinkan munculnya Partai Kartel, yaitu partai yang orientasinya lebih mendekat kepada negara, yang memungkinkan adanya kolusi, kerjasama antar partai di luar pemilu untuk bagi-bagi kekuasaan. Sehingga fungsi-fungsi parpol itu nantinya tidak akan berjalan,” ujarnya.
Nurhasim menambahkan, terkait institusionalisasi parpol menurut Vicky Randall dan Lars Svasan dipengaruhi oleh empat hal, yaitu kesisteman, identitas nilai/ideologi, otonomi parpol, dan reifikasi/pengetahuan terhadap partai.
Selanjutnya, Peneliti Perludem, Fadil Ramadhanil, S.H., M.H. mengatakan setidaknya ada beberapa hal yang dapat diperhatikan dari Putusan MK No 55/PUU-XVIII/2021 ini. Pertama, terkait personalia hakim ada tujuh orang hakim yang masih sama memutus perkara ini dengan perkara verifikasi parpol sebelumnya pada tahun 2017 lalu. Hal ini terntunya menjadi pertanyaan mengapa kemudian para hakim MK ini menggeser posisinya dari putusan MK pada tahun 2017 yang mewajibkan verifikasi faktual dan administratif pada semua parpol menjadi hanya wajib melakukan verifikasi administratif saja bagi parpol yang telah memenuhi Parliamentary Thershols pada tahun 2019. Padahal, jika melihat kondisi saat ini, menurutnya belum ada hal yang actual yang dapat menjadi alasan untuk para hakim MK ini menggeser posisinya.
Kedua, amar putusan MK jauh bergeser dengan permohonan partai pemohon judicial review, yaitu partai pemohon mengingikan agar parpol yang telah mengikuti pemilu pada tahun 2019 tidak diwajibkan mengikuti verifikasi faktual. Tapi, putusan MK menetapkan bahwa parpol yang telah memenuhi Parliamentary Thershols pada pemilu tahun 2019 tidak diwajibkan mengikutif ferivikasi faktual.
“Putusan ini, yang katanya mengabulkan permohonan pemohon sebagian, malah tidak memenuhi hak konstitusional pemohon sama sekali, dikarenakan dengan putusan MK ini, partai pemohon tetap diwajibkan mengikuti verifikasi faktual sebab partai pemohon belum memenuhi Parliamentary Thershols pada pemilu tahun 2019,” ujar Fadil.
Ketiga, menurut Fadil dampak ke depannya dari putusan MK ini, yaitu akan menimbulkan adanya hegemoni parpol parlemen yang tidak berdampak pada penyederhanaan parpol parlemen, institusionalisasi parpol juga tidak semakin rapih pelembagaannya, akan menjauhkan upaya penataan organisasi partai terutama berkaitan dengan demokrasi internal, dan menjauhkan parpol dari masyarakat.
“Hal ini tentu akan menjauhkan parpol dari kepentingan banyak orang, terkait dengan fungsi keterwakilannya, menjauhkan parpol dari masyarakart, serta menjauhkan parpol dari demokrasi internal parpol itu sendiri. Karena, pelan-pelan parpol diuntungkan dengan adanya putusan ini, sehingga mereka hanya akan kerja menjelang pemilu saja, sisanya mereka akan sibuk dengan bagi-bagi kekuasaan, dan menikmati kekuasaan,” pungkasnya. (EDN/RS)