Vaksinasi sebagai Solusi Penyelesaian Pandemi
Perdebatan mengenai vaksinasi di lini masa akhir-akhir ini sering menimbulkan pro dan kontra di berbagai lapisan masyarakat. Alih-alih memberikan solusi pada penyelesaian pandemi, kegaduhan yang ditimbulkan pada akhirnya hanya berujung pada debat kusir dan menjadi bola liar di media sosial. Menyikapi hal ini, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII memberikan ruang diskusi kepada mahasiswa dan masyarakat luas dalam acara bertajuk “Ada Apa Dengan Vaksin?” pada Minggu (7/2).
Acara yang dibuka oleh Prof. Riyanto, Phd. selaku Dekan FMIPA UII ini juga dibersamai oleh ahli bioteknologi dari Universitas Putra Malaysia yaitu Assoc. Prof. Bimo Ario Tejo, PhD. Menurut Prof. Riyanto topik mengenai vaksin erat kaitannya dengan studi yang sedang di tempuh oleh mahasiswa FMIPA saat ini.
Jalannya diskusi diawali dengan membahas isu efikasi vaksin Sinovac yang hanya menyentuh angka 65%. Menjawab pertanyaan tersebut, Bimo Ario menjelaskan berdasar ketentuan dari World Health Organization (WHO) mengenai syarat pemberian vaksin, regulator dapat melakukan vaksinasi apabila angka efikasi vaksin Covid-19 ada di atas 50%. “Jadi, angka efikasi atau kemanjuran dari Vaksin Sinovac yang hanya 65% itu sebenarnya sudah memenuhi syarat yang dijelaskan oleh WHO” jelasnya.
Lebih lanjut, Bimo Ario menekankan bahwa dari angka efikasi 65% tersebut, maka potensi masyarakat yang sudah divaksin bisa tertular Covid-19 adalah 35%. Dengan hasil yang demikian, maka orang yang sudah mendapat suntikan vaksin masih perlu untuk menjalankan protokol kesehatan sebagaimana mestinya.
Beralih pada pembahasan selanjutnya, menyoal berbagai jenis vaksin Covid-19 yang tersedia, Bimo Ario dalam penuturannya menjelaskan pemerintah pada keputusan terbarunya mengumumkan akan membeli tujuh jenis vaksin baik produksi dalam negeri maupun luar negeri. Vaksin tersebut yaitu vaksin merah putih dari bio farma, sinovac, sinovam, pfizer, moderna, astra zeneca, dan novavax. Hal tersebut menurutnya adalah upaya pencegahan dari pemerintah apabila salah satu vaksin mengalami berbagai kendala seperti kehabisan stok atau kehabisan bahan baku dalam pembuatan vaksin.
Diskusi berlanjut pada isu vaksinasi yang berhubungan dengan herd immunity. Dalam pandangan Bimo Ario Tejo, herd immunity bisa terjadi meskipun skala kekebalan yang terbentuk hanya sekitar 70%. “Tidak harus 100%, dalam hitungan kita, apabila 70% masyarakat telah divaksin dan mereka kebal terhadap virus, maka sudah cukup untuk membuat virus tersebut frustrasi karena tidak mampu menemukan inangnya yang baru,” ungkapnya.
Bimo Ario juga menjelaskan bahwa syarat terjadinya herd immunity adalah apabila angka efikasi vaksin dan jumlah rakyat yang mau divaksin cukup tinggi. “Apabila angka efikasi vaksin terlalu rendah, maka jumlah rakyat yang divaksin harus tinggi, dan juga kebalikannya, apabila angka efikasi vaksin tinggi, maka jumlah rakyat yang divaksin bisa lebih rendah” Bimo Ario menekankan.
Bimo Ario melanjutkan, apabila angka efikasi vaksin di Indonesia sekitar 60%, perhitungan yang muncul untuk tercipta herd immunity adalah diperlukan sekitar 182 juta penduduk untuk pemerintah dapat melakukan vaksinasi. Hanya saja, permasalahan yang kemudian terjadi menurut Bimo Ario adalah pendistribusian vaksin di Indonesia cenderung berjalan terlalu lambat dibanding jumlah penduduknya, yakni hanya sekitar 60 ribu vaksin per hari. Permasalahan ini menurutnya akan memperlambat terjadinya herd immunity terhadap pandemi virus Covid-19 terjadi di Indonesia.
Dengan asumsi tersebut, Bimo Ario pesimis pada harapan terjadinya herd immunity di Indonesia, “Masyarakat yang menolak vaksin atas berbagai macam alasan akibat hoax, ragu, masalah agama dan lain hal pasti akan menghambat langkah pemerintah dalam mencapai sasaran 182 juta penduduk,” tuturnya.
Bimo Ario pada akhir acara menyatakan bahwa akan lebih realistis berharap bahwa vaksin yang didistribusikan pemerintah setidaknya bisa menyelamatkan nyawa dan menghindari sistem kesehatan negara tidak colapse akibat banyaknya korban virus tersebut. (IAA/RS)