Upaya Pelemahan KPK Terus Berlanjut

Upaya pelemahan KPK terus berlanjut. Dari mulai revisi UU KPK menjadi UU No 19 Tahun 2019 yang meletakkan KPK di bawah rumpun eksekutif, hasil dari judicial review UU KPK yang dalam hal pengujiannya MK menganggap suara aspirasi masyarakat hanya merupakan bagian dari hak masyarakat untuk berpendapat, hingga 75 orang anggota KPK dengan kredibilitas yang bagus dalam jabatannya dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) dan diancam diberhentikan menjadi anggota KPK.

Menanggapi hal tersebut, Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH FH UII) mengadakan webinar virtual dengan tema “Ada Apa dengan KPK? Nasib KPK Pasca Revisi UU KPK hingga Tes Wawasan Kebangsaan” pada Sabtu, (12/6), dengan mengundang para narasumber yang ahli di bidangnya, yaitu Harun Al Rasyid (Raja OTT KPK), Budi Santoso (Mantan Penasihat KPK), dan Anang Zubaidy (Dosen FH UII dan Anggota Tim JR UU KPK).

Harun mengatakan revisi UU No 19 Tahun 2019 ini bukan merupakan bentuk penguatan KPK. Menurutnya, berdasarkan salah satu kaidah hukum fiqih, keinginan untuk membuat suatu kebaikan seharusnya tidak boleh menyebabkan mudhorot. Namun kaidah ini tidak berlaku dalam revisi UU KPK ini. Dalam hal pelaksanaan TWK bagi anggota KPK misalnya, ini merupakan sebuah penyelundupan hukum. Hal ini dikarenakan ketentuan TWK ini tidak diatur dalam UU No 19 Tahun 2019 mengenai adanya tes ini. Selain itu, dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (PKPK) yang dibentuk secara harmonisasi antara KPK, Kemenpan RB, juga Kemenkumham sama sekali tidak membahas tentang tes wawasan kebangsaan.

“Namun, satu hari sebelum norma PKPK itu diundangkan, Ketua KPK tanpa didampingi dengan Pimpinan KPK lainnya datang ke Kemenkumham, dan besoknya saat norma ini diundangkan ada ketentuan tentang TWK itu. Ini yang saya sebut dengan penyelundupan hukum,” ujarnya.

Harun mengatakan, sejak PKPK itu diundangkan, internal KPK sudah melakukan penolakan. “Pada saat itu, kami langsung menolak. Karena TWK itu tidak diatur dalam UU No 19 Tahun 2019 maupun peraturan lainnya. Namun Pimpinan KPK mengatakan bahwa TWK ini hanya dilakukan sebagai formalitas saja. Mendengar itu kami para anggota KPK langsung menolak, karna menurut kami kata-kata formalitas ini akan berdampak pada pembohongan terhadap publik,” ucapnya.

Selain itu, Harun juga mengatakan bahwa para anggota KPK telah merasa akan ada yang diberhentikan pada tanggal 1 Juni 2021. Terbukti, setelah TWK itu dilangsungkan menghasilkan 75 orang anggota KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK. Harun juga membantah pendapat Ketua KPK yang mengatakan tidak ada tindakan diskriminatif dalam pelaksanaan TWK ini. Pada kenyataannya, dalam pelaksanaan TWK itu, waktu pengujian bagi setiap anggota KPK itu berbeda. Dirinya mengaku menjalankan TWK selama kurang lebih 2 jam, sedangkan anggota lainnya ada yang hanya 15 menit, dan pertanyaannya pun berbeda-beda untuk setiap anggota KPK.

Selanjutnya Anang Zubaidy menjelaskan tigal hal utama dalam kasus KPK. Pertama, dalam hal mengajukan judicial review UU No 19 Tahun 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK) dilakukan oleh UII dengan alasan sebagai tanggung jawab sejarah untuk membersihkan Indonesia dari korupsi dan pelaksanaan catur dharma UII sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. Kedua, UII mengajukan dua tahap pengujian, yaitu pengujian formil yang mencakup: 1) UU No 19 Tahun 2019 tidak dibentuk sesuai porsedur yang baik, 2) Melanggar asas partisipasi, 3) Melanggar asas keterbukaan, 4) Melanggar asas kedayagunaan dan kehasilgunaan.

Sedangkan pengujian materiil yang diajukan mencakup: 1) Kedudukan independensi KPK, 2) Kewenangan Dewan Pengawas KPK dalam memberikan perizinan untuk melakukan penyelidikan, 3) Alih status menjadi ASN, 4) Pemberian SP3 yang tidak terukur.

Anang menyampaikan beberapa poin krusial dalam putusan MK yaitu: 1) MK menetapkan pembentukan UU No 19 Tahun 2019 sudah sesuai prosedur. Selain itu MK juga menganggap demonstrasi dan aspirasi masyarakat hanya sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang biasa terjadi. “Hal ini tentunya melukai hati para generasi bangsa, karena demontrasi hanya dianggap sebagai bentuk menyatakan pendapat,” ujarnya.

Berikutnya, 2) KPK disebut tetap independen meskipun di bawah rumpun eksekutif. Menurutnya, hal ini sangat sulit untuk membuat KPK tetap independen jika berada di bawah eksekutif, TWK ini misalnya, sudah cukup membuktikan kedudukan KPK berada di bawah rumpun eksekutif akan sangat mempengaruhi kinerja KPK. 3) MK tidak menetapkan secara jelas tentang kewenangan Dewan Pengawas (Dewas) KPK ini, yang tentunya masih menjadi pertanyaan terkait mekanisme kerja Dewas selanjutnya. 4) SP3 dimungkinkan dalam waktu 2 tahun sejak SPDP.
Dengan ketentuan SP3 tersebut menurut Anang akan menimbulkan semakin banyak kasus korupsi yang tidak terselesaikan. Karena proses penyelesaian kasus korupsi ini pasti membutuhkan waktu yang lama, sedangkan jika melewati waktu 2 tahun harus diberhentikan.

Selanjutnya, Budi Santoso menjelaskan revisi UU KPK sebelumnya tidak pernah masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas). Padahal seharusnya UU yang akan disahkan harus masuk ke dalam daftar prolegnas. Namun, dalam pengesahaan UU KPK ini, dalam waktu kurang lebih 14 hari, DPR menggelar rapat paripurna yang hanya dihadiri oleh 70 orang anggota DPR dan menghasilkan pengesahan UU No 19 Tahun 2019. Tentu proses pengesaham ini telah menyimpangi ketentuan dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Menurut Budi, upaya pelemahan KPK ini sudah didesain dengan sedemikian rupa, mulai dari regulasinya terkait RUU KPK, Budi mengatakan, sampai akhir pengesahannya KPK tidak diberikan draft asli serta tidak juga diberi kesempatan untuk mengikuti rapat terkait pembahasan ini.
“Padahal, KPK ini kan merupakan institusi yang sangat berkaitan dengan RUU KPK ini, karena mereka yang akan melaksanakan ketentuan dari undang-undangnya, tapi malah tidak dilibatkan sama sekali,” ucapnya.

Dalam tahap pelaksanaannya, KPK juga kembali dilemahkan dengan pemberlakuan SP3. Pemberlakuan SP3 ini akan memudahkan para pelaku korupsi untuk bebas dari tuntutan pidana korupsi jika kasusnya tidak dapat ditemukan titik terangnya selama dua tahun. Selanjutnya, SDM KPK juga dilemahkan dengan diberlakukanna TWK dan menghasilkan 75 orang anggota KPK yang berintegritas dinyatakan tidak lulus TWK dan diancam diberhentikan sebagai anggota KPK.

Budi mengatakan, “Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sebagai starting point, pada akhirnya semuanya akan menjadi kekuasaan eksekutif. Dan kekuasaan eksekutif tertinggi ada di tangan Presiden. Dengan demikian lembaga yang berada di bawahnya akan lebih mudah dikooptasi dan dipengaruhi, serta sistem kebijakannya menjadi terpusat,” tutupnya. (EDN/RS)