Undang-undang Baru KPK, TWK, dan Masa Depan KPK
Korupsi menjadi salah satu masalah utama yang dihadapi Indonesia saat ini. Mulai dari pejabat hingga kalangan penegak hukum masih ada saja yang menjadi tersangka korupsi dari waktu ke waktu. Upaya pemberantasan korupsi terus dilakukan oleh lembaga KPK, namun hal ini nampaknya tak berbanding lurus dengan penguatan lembaganya yang kini kian melemah dari waktu ke waktu. Salah satunya dengan diberlakukan tes TWK bagi anggota KPK yang akan diangkat sebagai PNS baru-baru ini.
Berangkat dari permasalahan ini, Juridical Council of Internasional Program (JCI) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan kuliah umum virtual dengan tema “Undang-undang Baru KPK, TWK, dan Masa Depan KPK” pada Sabtu, (26/6), dengan mengundang beberapa narasumber yang kompeten di bidangnya.
Anggota Tim Judicial Review UU KPK, Wahyu Priyanka Nata P., S.H., M.H. mengatakan, dari Sembilan orang Hakim MK hanya ada satu orang hakim, yaitu Wahidudin Adams, yang menganggap UU No. 19 Tahun 2019 ini bertentantangan dengan konstitusi dengan menyebutkan beberapa indikatornya dalam dissenting opinion. Menurutnya, ada beberapa implikasi yang timbul pasca Putusan MK terhadap UU KPK dan masa depan KPK. Pertama kedudukan KPK yang menjadi bagian dari rumpun eksekutif dan perizinan penyadapan, penggeledahaan, dan penyitaan kepada Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
“Berkenaan dengan tindakan penyadapan, penggeledahaan, dan penyitaan, karena tidak perlu lagi meminta perizinan Dewas, maka tindakan ini dapat dilakukan dengan ketentuan yang ada dalam KUHAP yaitu dalam Pasal 33 dan 34 KUHAP. Jadi apabila dalam keadaan mendesak bisa dilakukan penggeledahan dahulu, baru dilaporkan agar mendapat persetujuan dari pengadilan setempat,” ujarnya.
Selain itu, karena KPK tidak perlu meminta perizinan kepada Dewas, maka Dewas tidak boleh mencampuri kewenangan yudisial/pro justicia. Kedua, terkait kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan oleh KPK, perlu diperjelas lagi bahwa penghentian tersebut dapat dilakukan setelah jangka waktu dua tahun dari diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Wahyu mengatakan, penghentian penyidikan dengan waktu dua tahun ini tidak jelas, tidak berdasar. Karena jika melihat dalam pada praktek pengadilan lain, penyidikan perkara dapat dihentikan berdasarkan adanya alasan yang jelas, seperti kurangnya bukti, dll. “Bukan hanya dari mengukur waktu dua tahun. Apalagi dalam hal tindakan korupsi ini butuh waktu yang tidak sedikit untuk menyelesaikan perkara korupsi ini,” ujarnya.
Ketiga, terkait pengalihan status pegawai KPK ada beberapa pertimbangan hukum dalam Putusan MK. Salah satunya ada frasa “Dalam proses pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk menjadi ASN” dan frasa “bagi pegawai KPK secara hukum menjadi ASN karena berlakunya UU No. 19/2019”.
“Dua frasa ini setidaknya mengandung makna bahwa seharusnya tidak ada pemberhentian pegawai KPK dengan alasan apapun, karena pegawai KPK sudah dianggap menjadi ASN berdasarkan penyesuaian peralihan status kepegawaian KPK yang diatur dalam UU No. 19/2019,” ungkap Wahyu.
Kemudian, Mantan Penasihat KPK RI, Budi Santoso, S.H., M.H., LL.M, mengatakan korupsi adalah akar dari kejahatan. Setidaknya ada empat dampak yang dapat ditimbulkan dari tindak pidana korupsi, yaitu memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, mengurangi tingkat investasi, menurunkan pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi demokratisasi dan merepresentasikan kelemahan. “Empat hal ini akan berakibat pada rusaknya struktur negara, menyebabkanya terjadinya kerugian negara, serta melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Budi juga menyebutkan, setidaknya ada beberapa faktor penyebab tindak pidana korupsi, yaitu penegakkan hukum yang tidak konsisten, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang, rendahnya pendapatan dan penyelenggaraan negara, budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah, budaya permisif, dan tidak diterapkannya nilai-nilai agama dan etika. Menurutnya, adanya perubahan UU KPK ini tidak seirama dengan upaya penguatan KPK. Hal ini dibuktikan pada pembentukan UU No. 19/2019, ada beberapa hal yang tidak sesuai.
Pertama, KPK mendapat informasi ini secara mendadak dan draft RUU KPK sudah jadi tanpa ada konfirmasi dengan KPK. Kedua, KPK sulit mendapatkan dan mengakses draf RUU KPK yang dimaksud. Ketiga, setidaknya ada 26 poin yang berisiko melemahkan lembaga KPK dalam RUU KPK tersebut.
“Selain itu, ada beberapa hal yang menunjukan UU KPK ini bermasalah, yaitu revisi UU KPK tidak melalui proses perencanaan dalam Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2019, revisi UU KPK menggunakan naskah akademik yang diragukan kebaruannya serta tidak lengkap membahas poin-poin yang melemahkan KPK, pembahasan revisi UU KPK tidak partisipatif dan tertutup, dan sidang paripurna DPR tidak kuorum dalam pengambilan keputusan,” pungkasnya.
Selanjutnya, Direktur LBH Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli mengatakan, dalam hal beralihnya status KPK menjadi ASN, jika melihat pada Pasal 5 Peraturan Komisi KPK (Perkom) No. 1/2021 yang menyebutkan bahwa “Pegawai KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang masih melaksanakan tugas dapat beralih menjadi PNS”. Kata ‘dapat’ inilah yang menurutnya dapat dijadikan celah untuk kemudian menyingkirkan pegawai-pegawai KPK yang berintegritas atau pegawai yang tidak disukai kinerjanya oleh para pemimpin KPK.
Selain itu, menurut Yogi adanya tes wawasan kebangsakan (TWK) bagi para pegawai KPK ini tidak berdasar. Hal ini dikarenakan pelakasanaan TWK ini tidak pernah dipersyaratkan dalam PP No 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN. “Kita tidak pernah menemukan diksi TWK dalam PP tersebut. Maka kesimpulannya, TWK itu dasarnya apa sebenarnya, karena TWK ini tidak pernah dipersyaratkan dalam PP,” ujarnya. (EDN/RS)