UII Luncurkan Pusat Studi Agama dan Demokrasi
Di tengah merosotnya demokrasi dan memudarnya peran agama di Indonesia dan sejumlah negara, Universitas Islam Indonesia (UII) meluncurkan Pusat Studi Agama dan Demokrasi, pada Rabu (22/5). Peluncuran ditandai dengan pemukulan 26 kentongan oleh sejumlah tokoh di Auditorium Gedung Sardjito, Kampus Terpadu UII. Selain sebagai tanda lahirnya Pusat Studi Agama dan Demokrasi, pemukulan 26 kentongan sekaligus merupakan peringatan penting untuk terus merawat dan menjalankan agenda reformasi yang kini bertepatan dengan 26 tahun usia reformasi, sejak 21 Mei 1998.
Pusat Studi Agama dan Demokrasi lahir atas kerja sama UII Yogyakarta dengan MMD Initiative, lembaga kajian di bidang keadilan dan demokrasi yang berdiri sejak tahun 2014 di Jakarta. Bagi UII dan MMD Initiative, kehadiran lembaga ini merupakan komitmen atas keislaman dan keindonesiaan, serta tekad untuk berkontribusi terhadap berbagai persoalan yang sedang dihadapi bangsa hari ini. Pusat studi ini berada di bawah universitas, sebagai sebuah gerakan untuk mendukung terwujudnya semboyan UII, berilmu amaliah beramal ilmiah.
Kepala Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII, Prof. Masduki mengatakan, fokus utama lembaga ini adalah peningkatan kualitas demokrasi, penegakan hukum dan keadilan, Hak Asasi Manusia, pendidikan dan kebudayaan, serta kontribusi agama dalam masalah kenegaraan dan kemasyarakatan.
“Tema-tema besar ini akan dibungkus dalam berbagai kegiatan dan program organisasi, baik secara mandiri maupun bersama-sama dengan pusat studi dan jaringan masyarakat sipil lainnya,” kata Masduki, yang juga adalah dosen komunikasi UII.
Rektor UII, Prof. Fathul Wahid dalam sambutannya menekankan pentingnya menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa pembajakan terhadap demokrasi tidak lagi dengan cara kekerasan, penggunaan militer, atau kudeta. Pasca Perang Dingin, di banyak negara, kemunduran demokrasi justru dilakukan oleh pemerintahan terpilih. Demokrasi dibunuh oleh anak kandungnya sendiri. Kemunduran demokrasi bahkan dimulai dari bilik pemungutan suara ketika pemilu.
“Melalui pendirian Pusat Studi Agama dan Demokrasi, kami ingin melantangkan pesan dan mengedukasi publik bahwa pembajakan demokrasi dapat dilakukan dengan modus operandi baru yang mengelabui, dan karenanya kesadaran baru perlu ditumbuhkan,” ujar Fathul Wahid.
Sementara itu, dalam pidato kuncinya, Ketua Dewan Pembina MMD Initiative, Prof. Mahfud MD mengatakan, dalam 10 tahun terakhir demokrasi sebagai pilihan politik Indonesia mengalami kemunduran hebat. Politik dinasti, intervensi terhadap lembaga peradilan dan pelemahan masyarakat sipil menjadi tandanya. Hal itu membutuhkan gerakan-gerakan yang tidak cuma mampu menjaga, tapi juga merawat Indonesia. Dengan demikian, Indonesia ke depan benar-benar dapat mewujudkan segala cita-cita yang sudah dengan luhur ditorehkan oleh para pendiri bangsa.
“Maka itu, kampus perlu bergerak dan kehadiran Pusat Studi Agama dan Demokrasi diharapkan bisa menjaga dan merawat Indonesia,” ujar Mahfud yang juga merupakan guru besar Fakultas Hukum UII.
Pusat Studi Agama dan Demokrasi ini didukung dan akan dikelola oleh sejumlah tokoh bangsa dari berbagai latar belakang. Mereka merupakan figur-figur yang peduli terhadap kemajuan kehidupan beragama dan bernegara, serta memiliki komitmen kuat dalam peningkatan demokrasi.
Sejumlah nama penting akan duduk dalam Dewan Penasehat, antara lain mantan Menko Polhukam Mahfud MD, mantan Kepala LPS dan Deputi Gubernur BI, Halim Alamsyah, mantan Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki, akademisi UII yang juga Direktur MMD Initiative, Asmai Ishak, mantan anggota DPR, Erwin Moeslimin Singajuru, dan budayawan Butet Kartaredjasa. Sedangkan, Masduki ditunjuk sebagai Kepala Pusat Studi Agama dan Demokrasi yang dalam waktu dekat akan menyusun dan melengkapi kepengurusan organisasi.
Selain itu, terdapat tokoh-tokoh lain yang akan menempati posisi sebagai tim ahli, seperti pemikir Islam lulusan Harvard, Sukidi, penulis Hamid Basyaib, advokat senior Ari Yusuf Amir, ekonom yang juga Rektor UWM Edy Suandi Hamid, ahli hukum tata negara Ni’matul Huda, aktivis dan dosen STF Driyarkara Yanuar Nugroho, sejumlah tokoh penting lainnya. (AHR/RS)