,

UII Fasilitasi Dialog Toleransi Beragama dengan Serbia

Semakin tingginya kemajemukan suatu bangsa, tidak lantas membuatnya mudah terpecah belah. Indonesia merupakan bukti akan hal itu di mana beribu suku, bahasa, dan setidaknya, ada enam agama berbeda yang telah diakui dapat hidup berdampingan. Kemajemukan apabila dikelola dengan baik justru menjadi bukti otentik keunikan dan kekuatan pendorong kemajuan suatu bangsa.

Ini yang menjadi fokus diskusi Public Lecture dalam rangkaian kegiatan The 4th Indonesia-Serbia Bilateral Interfaith Dialogue (ISBID) yang diadakan di Gedung Perpustakaan Pusat, Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII) pada Kamis, (24/10). UII mendapat kepercayaan sebagai fasilitator acara karena dinilai menjadi kampus yang intens menyuarakan moderasi Islam dan dialog antar komunitas.

“Masih banyak hal yang harus kami pelajari dari saudara-saudari kita di Indonesia. Kami (Serbia) masih terbilang muda terkait partisipasi dan kerja sama antar institusi,” ujar Mr. Isihije Rogić, Serbian Orthodox Bishop of Mohač yang membahas hubungan kerja terkait apa yang sudah tercapai dan apa yang jadi capaian di masa depan. Kendati demikian, rangkaian dialog antaragama seri keempat ini adalah bukti kerjasama sinergis yang konsisten antara Indonesia dan Serbia. 

Berbeda dengan Isihije, Prof. Dr. Abdullah Numan, Deputy of Reisul-Ulema of the Islamic Community of Serbia and Mufti of Serbia, mengulas perkembangan multikulturalisme dan kerja sama antar agama. Menurutnya untuk bisa hidup berdampingan di tengah-tengah perbedaan, legalitas konstitusional perlu dipertimbangkan dengan matang, sementara memperjuangkan semua pihak. 

“Di Indonesia, contohnya adalah Pancasila. Sila pertama mengutamakan dan mempersilahkan masyarakat untuk memilih kepecayaannya,” kata Abdullah. Selain itu ia juga menyampaikan bahwa tidak ada agama yang mengajarkan kebencian, agama mengajarkan kasih sayang dan cinta. “Tidak ada paksaan dalam memilih agama. Kita bisa menuntut kuda ke kubangan air, tetapi kita tidak bisa memaksanya untuk meminumnya,” tuturnya. 

Sementara, Dr Ferid Bulić, Assistant Director in the Department for Interfaith Dialogue, Ministry of Justice – Administration for Cooperation with Churches and Religious Communities –menjabarkan hak-hak beragama di Serbia dan dialog antar agama. “Dalam Serbia, ada 7 agama tradisional yang diakui,” kata Ferid. Sebelum lebih jauh, ia menekankan bahwa keterbukaan dalam ranah konstitusi, terkhusus bidang agama sangat penting. 

Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D., Wakil Rektor Bidang Networking & Kewirausahaan yang hadir sebagai pembicara keempat menanggapi bahwa kegiatan dialog ini menghadirkan dampak positif baik bagi relasi ataupun mahasiswa yang dilanjut dengan capaian dan kegiatan mendatang. 

Selain empat pembicara yang diundang, juga hadir ditengah-tengah audiens Duta Besar Indonesia untuk Serbia, Mochammad Chandra Widya Yudha. Bersama dengan mahasiswa Serbia yang sedang menjalani program studi di Indonesia, beliau mengapresiasi adanya kegiatan ini serta menghimbau untuk menjalin relasi antar mahasiswa dan mempelajari perbedaan budaya yang ada. 

Toleransi di Indonesia

Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai toleransi bahkan telah diakui dunia, Indonesia pernah menjadi tuan rumah United Nations Alliance of Civilizations (UNAC) yang diselenggarakan di Bali pada Agustus 2014. Mengutip dari Hendardi (2018) Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2018 menunjukan bahwa menghadirkan 10 kota paling toleran di Indonesia bertujuan untuk mempromosikan dan menghadirkan role model untuk ditiru oleh kota lain di Indonesia. 

Pada akhirnya perbedaan agama menemukan titik temu di tengah-tengah legalitas konstitusi. Diperlukan keterbukaan sudut pandang dan dialog antar pemuka agama untuk mencapai pemahaman komprehensif terkait nilai-nilai yang disepakati. “Agama mengajarkan tentang cinta dan kasih sayang. Bukan waktunya lagi untuk saling menyalahkan, tunjukkan bahwa cinta lebih banyak dari pada kebencian,” pungkas Abdullah mengakhiri sesi tanya jawab.

(IG/ESP)