UII dan The Conversation Indonesia Bertekad Perbanyak Ilmuwan Publik
Dalam rangka meningkatkan pemahaman masyarakat luas terhadap isu-isu kontemporer lewat pendekatan sains populer, Universitas Islam Indonesia (UII) dan The Conversation Indonesia (TCID) meluncurkan pembukaan kantor baru yang pertama di Yogyakarta. Dengan hadirnya kantor tersebut, UII menjadi pionir di antara universitas se-Indonesia yang mewadahi hadirnya TCID di lingkungan pendidikan tinggi. Seremoni peluncuran diadakan di Ruang Teatrikal Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito UII pada Kamis (11/5) dan turut dihadiri oleh segenap pimpinan di lingkungan UII serta mahasiswa.
Peluncuran kantor TCID di UII ini juga dibarengi dengan diskusi publik bertemakan “Apakah Politik Identitas Masih Relevan dalam Kampanye Pemilu 2024 di Media Sosial?. Diskusi tersebut menghadirkan Ismail Fahmi, Ph.D, Rizki Dian Nursita, M.H.I, Wawan Mas’udi, SIP., MPA., Ph.D., dan Shafiq Pontoh.
Rektor UII Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. dalam sambutannya mengungkapkan pentingnya menyongsong kemajuan sains melalui diskusi ruang publik. “Kerja sama yang baik ini insya Allah menjadi tonggak penting di kedua belah pihak untuk bersama-sama melantangkan gagasan-gagasan tersaring yang penting untuk membuka diskusi sehat dan mengedukasi khalayak. Secara spesifik kerja sama dengan kampus juga diharapkan informasi terkait dengan perkembangan sains ini bisa lebih lantang terdengar di ruang publik dan menjadikan kalangan warga kampus siap menjadi intelektual publik,” ungkap Prof. Fathul Wahid.
Ditambahkan Prof. Fathul Wahid, fakta dan data adalah kunci utama yang menjadi landasan dalam berpendapat. “Hal ini sangat penting untuk merawat dan meningkatkan perangai ilmiah (scientific temper), scientific attitude publik. Salah satunya adalah dengan melantangkan kesadaran akan pentingnya data atau fakta yang mendasari setiap pilihan sikap atau pendapat”, imbuhnya.
Prof. Fathul Wahid menuturkan bahwa perbedaan adalah warna dari keberagaman. “Perbedaan seharusnya tidak lantas membuat perpecahan, lawan perbedaan adalah persamaan, sedang negasi dari perpecahan adalah persatuan. Perbedaan tidak identik dengan perpecahan, perbedaan identitas adalah faktor sosial dan merupakan sunnatullah,” tuturnya.
Terakhir, Prof. Fathul Wahid berpesan agar kita senantiasa menanamkan nilai-nilai kesetaraan dalam setiap tindakan. “Dalam berinteraksi, perlu dibalut nilai-nilai agung, termasuk kesetaraan sesama anak bangsa apapun latar belakangnya,” pungkasnya.
Sementara itu, CEO/Publisher TCID Prodita Kusuma Sabarini dalam sambutannya menjelaskan, “The Conversation Indonesia adalah sebuah media yang memang tujuannya adalah untuk menyebarkan ilmu pengetahuan kepada publik, kita berusaha untuk membumikan sains ke masyarakat, dan karena itu kami selalu berusaha mendekatkan diri kepada komunitas sains di Indonesia”.
Prodita Kusuma Sabarini mengutarakan kebahagiaannya terkait kerja sama yang terjalin antara kedua belah pihak. “Kami sangat bahagia ketika kami menyampaikan ide tentang kerja sama The Conversation Indonesia dengan UII terkait house partner dan bahwa UII sangat terbuka menyambut dan membuka pintunya untuk kami, dan akhirnya kami sekarang bisa memiliki kantor dan semakin dekat dengan komunitas akademik di Yogyakarta,” sambungnya.
Prodita Kusuma Sabarini optimis ke depannya diskusi publik akan lebih mengedepankan literatur dan terbukti secara faktual. “Kami percaya bisa memperkuat kualitas diskusi publik di Indonesia, sehingga diskusi publik di Indonesia itu benar-benar berdasarkan riset dan fakta”
Terakhir, Prodita Kusuma Sabarini menekankan, “Kami berharap kantor baru The Conversation Indonesia di Yogyakarta, di UII, dan kami ingin menyebutnya sebagai rumah baru, rumah bersama kita, itu bisa menjadi rumah kita bersama-sama untuk kita terlibat dalam proses diskusi publik yang bisa semakin mendorong apa yang tadi disampaikan oleh Prof. Fathul (scientific temper) di masyarakat Indonesia,” tutupnya. (JR/ESP)