UII dan Badan Keahlian DPR RI Diskusikan Putusan MK RI atas UU Cipta Kerja
Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Badan Keahlian (BK) DPR RI menggelar diskusi terbatas bertema “Arah Kebijakan Hukum Perubahan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”. Kegiatan yang dihelat secara luring dan daring terbatas pada Jumat (8/4) itu diadakan di Auditorium Prof. Dr. Abdul Kahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII. Pada acara diskusi terbatas ini hadir empat narasumber diantaranya adalah Dr. Lidya Suryani Widayati, S.H., M.H, Anang Zubaidi, S.H., M.H, Alan Fathan Gani, S.H., M.H., dan Dr. Ridwan, S.H., M.H.
Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang BK DPR RI, Dr. Lidya Suryani Widayati mengemukakan bahwa UU Ciptaker diharapkan menjadi instrumen utama untuk mendorong penyediaan lapangan kerja, pemberdayaan UMKM dan koperasi, serta reformasi regulasi untuk mendorong transformasi ekonomi dan pemulihan ekonomi nasional.
Selanjutnya. Dr. Lidya menjelaskan bahwa dengan banyaknya aturan dan regulasi (hyper-regulasi), diperlukan adanya terobosan hukum melalui metode omnibus. Metode omnibus sendiri belum diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Ia meyakini metode itu sudah tepat untuk merumuskan UU Ciptaker di tengah masih semrawutnya berbagai peraturan maupun regulasi yang saling tumpang tindih.
Sebagai catatan, per Desember 2021 saja di tingkat pusat terdapat 1.680 undang-undang, 295 peraturan pemerintah pengganti undang-undang, 4.664 peraturan pemerintah, 1.980 peraturan presiden, 8.612 keputusan presiden, 693 instruksi presiden, 178 undang-undang darurat, 48 pengaturan penguasa perang tertinggi, 23.611 peraturan kementerian, 338 peraturan Lembaga negara, 4.104 peraturan Lembaga pemerintah non-kementerian, 476 peraturan Lembaga non-struktural, dan 46.000 merupakan jumlah total peraturan jenderal perundang-undangan di tingkat pusat per 2021.
Sesi kedua diskusi lebih membahas penilaian atas minimnya partisipasi publik dalam penyusunan UU Ciptaker yang melanggar pasal 88 dan 96 undang-undang P3 (Undang-Undang 12 Tahun 2012). MK RI menilai partisipasi masyarakat merupakan hak konstitusional dari warga negara sehingga perlu dilakukan secara bermakna atau disebut dengan istilah ‘meaningfull participation’.
Dosen FH UII, Anang Zubaidi berpendapat aspek partisipasi ini sudah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam proses legislasi. Pada tahapan pra-registrasi yaitu proses perancangan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lain dan juga proses penyusunan norma yang akan menjadi rancangan undang-undang yang artinya partisipasi publik secara normatif sudah tegas dinyatakan dalam undang-undang P3 di pasal 96 ayat 1.
Selanjutnya, Dr. Ridwan menjawab solusi terhadap hal ini adalah perlu pembatasan kewenangan Presiden. Pasal 174 UU Ciptaker tersebut mestinya cukup menyebut kewenangan Menteri dan LPNK, yang dalam sistem presidensial merupakan mandataris Presiden, dan peraturan yang dibuatnya atau tindakan dan kebijakannya dalam rangka melaksanakan kewenangan presiden, sehingga bunyi pasalnya menjadi:
“Dengan berlakunya UU ini, kewenangan Menteri dan LPNK yang telah ditetapkan dalam undang undang untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden”. (A/ESP)