Tidak Ada Kata Terlambat Mulai Belajar Agama
Setiap muslim punya peluang yang sama untuk menjadi orang yang paham akan agamanya. Tidak memandang latar belakang suku, ras, maupun keadaan ekonomi, Allah membentangkan keluasan samudra ilmu kepada setiap hamba-Nya yang bersungguh-sungguh. Di sepanjang sejarah Islam banyak nama-nama ulama yang lahir meski pada awalnya bukan berasal dari latar belakang santri. Ada dari mereka yang bahkan baru memperdalam ilmu agama di usia lanjut hingga diakui sebagai ahli ilmu agama. Oleh karenanya, tidak ada kata terlambat belajar agama selama kita masih hidup di dunia.
Sebagaimana disampaikan Ustadz Ammi Nur Baits, S.T., BA dalam Pesantren Ramadhan Daring 1441 Hijriah yang diadakan Rektorat UII pada Senin (3/5). Kegiatan ini diikuti sivitas akademika di unit Rektorat UII.
Ustadz Ammi Nur Baits pun mengaku bukan berlatar belakang dari pesantren. Ia merupakan Sarjana Teknik Nuklir UGM yang lulus di tahun 2006. Selanjutnya ia mengambil jurusan Fiqih dan Ushul Fiqh pada tahun 2011 di Universitas Internasional Madinah.
Menurutnya, berlatar belakang apapun seseorang, ia memiliki peluang sama untuk mendalami ilmu agama. “Mungkin ada orang awalnya belajar bidang kimia lalu mengisi kajian itu sangat mungkin. Karena pada asalnya kita punya peluang yang sama untuk paham agama, Allah menyediakan agama untuk dipelajari dengan mudah,” ujarnya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah yang artinya, “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Alquran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17).
Ia mencontohkan seperti Ustadz Dr. Firanda Andirja yang sebelumnya kuliah di jurusan Teknik Kimia, Ustadz Doktor Abdullah Roy yang dulu di MIPA, dan Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal yang berasal dari Teknik Kimia kemudian migrasi belajar ilmu agama.
Selanjutnya, Ustadz Ammi Nur Baits menegaskan bahwa banyak ulama besar yang belajar ilmu agama bukan sejak kecil, melainkan saat remaja, dewasa, bahwa lansia. Di antaranya adalah Ibn Hazm dalam Adab Thohiriyah yang mulai belajar ilmu agama saat berusia 26 tahun. Imam Alfan Ma’ruf, salah satu kibarul ulama Syafi’iyah mulai belajar agama ketika sudah di usia 30 tahun. Kemudian ada pula ulama ahli bahasa dalam ilmu Nahwu yang mengalami hujatan dan fitnah saat belajar agama usia 40 tahun, namun dengan ketekunannya, ia menjadi salah satu rujukan dalam masalah ilmu Nahwu dan ilmu Qiraat.
“Inilah sebagian kecil contoh yang Allah bukakan hatinya untuk belajar di lanjut usia, Allah mudahkan untuk mengenal agama Nya, menghafal al-Quran, bahkan hadist meskipun bukan dari latar belakang pesantren,” jelasnya.
Allah terus memberikan kesempatan bagi setiap orang yang ingin mengenal agama lebih dalam. Sehingga siapa pun yang punya peluang, kata Ustadz Ammi untuk segera dimanfaatkan sebelum terlambat atau meninggal dunia.
Jika saat ini disibukkan dengan kesibukan lain, maka perlu pengaturan manajemen waktu yang baik untuk pembagian antara kewajiban kerja atau kuliah, dan mendalami agama Allah. Jika targetnya belajar agama secara mendalam, maka di awal perlu juga paham bahasa Arab agar lebih mudah menerima setiap ilmu nya. Sebab kebanyakan buku atau kitab berbahasa Arab.
“Di masa akhir Bulan Ramadan 1442 Hijriah ini, menjadi kesempatan baik untuk lebih disibukkan dengan mendalami agama Islam agama Allah,” tambah Ustadz Ammi Nur Baits.
Di akhir kajian, Ustadz Ammi Nur Baits menerangkan pentingnya sikap sabar dan santun ketika mendapat cibiran dari orang lain pada saat baru belajar ilmu agama. Menurutnya, hal tersebut juga pernah dialami oleh mereka ulama besar. Seperti Abu Hurairah yang pernah ditendang sebab tertidur di masjid, padahal sebenarnya ia pingsang karena kelaparan. Pernah juga beliau kejang-kejang di tengah Mesir hingga disebut orang gila.
Allah memberikan pelajaran atau ujian untuk para mencari ilmu. Hal ini untuk menguatkan mentalnya. Ustadz Ammi juga mengingatkan bagi setiap orang yang telah memiliki ilmu tinggi, jangan pernah menindas orang yang baru memulai belajar. Sebab kelak tidak ada yang pernah tahu, bisa jadi yang ditindas menjadi ulama lebih besar dari yang menindas. (SF/ESP)