Tanggung Jawab Intelektual
Akhir-akhir ini, nampaknya para intelektual, dan bisa jadi termasuk kita, semakin takut menyuarakan kebenaran. Meskipun antena intelektual kita masih sensitif menangkap sinyal ketidakberesan, tetapi melantangkan pesan secara lugas semakin berisiko.
Menjalankan perintah bagian hadis “qul al-haqq walau kāna murran”[i] (katakanlah kebenaran meskipun itu pahit) nampaknya tidak semudah menghapalkannya. Sebagian besar dari kita sejak kecil nampaknya sudah hapal potongan hadis ini.
Bisa jadi kesimpulan ini bisa jadi salah dan tidak komprehensif. Tapi fakta di lapangan nampaknya mendukungnya.
Karenanya, menjalankan peran sebagai intelektual yang tidak hanya menekuni ilmunya tetapi juga punya kepedulian yang tinggi terhadap masalah bangsa dan negara, semakin menantang. Konsistensi diperlukan di sini.
Tiga hal berikut, nampaknya bisa menjadi pelajaran bersama.
Pertama, saya mengamati, Prof. Ni’mah, demikian kami memanggil (Prof. Ni’matul Huda) sudah terbukti menunjukkan konsistensi. Saya tahu, melakukannya tidak selalu mudah dan bukan tanpa risiko. Kasus teror yang pernah dialamatkan kepada beliau, cukup untuk menjadi bukti yang agak sulit dihapus dari memori kolektif kita.
Saya berdoa, semoga Allah selalu memudahkan dalam semua ikhtiar yang beliau lakukan untuk mengawal negara ini tetap berjalan di atas relnya sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri. Semoga Prof. Ni’mah tetap istikamah.
Kedua, saya juga melihat, Prof. Ni’mah juga mempunyai gayanya sendiri dalam “meniup peluit” sehingga pesan tetap sampai dan yang mendengarkannya tidak merasa sangat terganggu. Salah satunya, nampaknya, karena pendekatan akademik yang dijaga dan dibarengi dengan menjaga kedekatan dengan banyak aktor, tetapi tetap kalis dari kepentingan sesaat. Prof. Ni’mah sangat konsisten mendokumentasikan pemikirannya dalam bentuk buku dan aktif menjadi pembicara di banyak forum yang sesuai dengan bidang keahliannya.
Dalam konteks ini, memastikan bahwa hati nurani tetap hidup dan terjaga sangat penting. Saat ini, tantangannya semakin berat dan sampai level tertentu, kian menakutkan.
Yang menakutkan tidak hanya oknum penguasa yang mungkin lupa asalnya, tetapi juga para pemuja oknum tersebut. Yang pertama kadang jumawa di depan rakyatnya yang seharusnya dilindungi dan dilayaninya, yang kedua, jika tidak segera insaf, akan menjadi anasir jahat yang terus merusak tenun kebangsaan.
Hati nurani yang hidup mungkin bisa menghalau atau mengurangi ketakutan yang mungkin hinggap.
Ini mirip dengan ikan hidup yang berenang di laut. Meskipun air laut asin, tetapi ikan yang hidup tidak menjadi asin. Ikan terpengaruh menjadi asin, hanya ketika sudah mati. Demikian juga halnya, jika hati nurani sudah mati.
Ketiga, pilihan sikap menjaga nurani tetap menyala dan menjaga hubungan dengan penguasa, memerlukan kapasitas personal yang lebih dari cukup. Di samping itu, perlu keberanian bersikap yang sangat mudah disalahpahami. Dalam hal ini, Prof. Ni’mah memberi contoh dengan sangat baik.
Ini mungkin mirip dengan konsep “jalan ketiga” yang diperkenalkan dan ditapaki oleh mendiang Prof. Cornelis Lay, meski dalam suasana dan intensitas yang berbeda. Jalan ini merupakan ikhtiar menyatukan kekuasaan (termasuk kedekatan dengan kekuasaan) dan nilai-nilai kemanusiaan.
Penilaian saya bisa jadi salah, tetapi dengan mengungkapkannya secara terbuka, Prof. Ni’mah akan tahu, kata mata apa yang saya pakai untuk melihat beliau. Beliau bisa meluruskan, jika ada yang kurang pas.
Prof. Ni’mah, tetaplah istikamah dan teruslah menginspirasi. Semoga Allah selalui meridai dan memudahkan langkah.
Terakhir, mari kita terus berdoa bersama untuk kebaikan bangsa dan negara kita, yang tidak lama lagi agak berusia 100 tahun.
Jangan sampai kita lelah mencintai bangsa dan negara ini. Kita dorong terus jika sudah di jalan yang lurus, dan kita ingatkan dengan cara-cara yang elegan dan konstitusional jika keluar dari rel konstitusional yang sudah disepakati.
Ini seharusnya menjadi kerja kolektif semua anak bangsa yang sepakat dengan visi serupa. Sekali lagi, semua ini perlu kita lakukan, bukan karena kebencian kita kepada orang, kelompok, atau partai tertentu, tetapi karena kecintaan dan kerinduan untuk menyaksikan Indonesia masa depan yang lebih demokratis, sejahtera, berkeadilan, dan bermartabat.
[i] Hadis ini yang diriwayatkan oleh Abu Dzarr dan shahih menurut Ibu Hibban merupakan potongan hadis yang panjang (Bulūgh al-Marām:888).
Sambutan pada acara peluncuran buku dan peringatan 30 tahun pengabdian Prof. Ni’matul Huda yang diselenggarakan oleh PSHK FH UII, 10 Februari 2021.