Supply Chain di Era Bisnis Digital

Program Studi Teknik Industri Universitas Islam Indonesia (TI UII) menggelar Webinar Nasional bertajuk Social Commerce: A New Era For Digital-Based Business and Supply Chain Management Challenges pada Jumat (7/6) melalui kanal zoom meeting. Dr. Ir. Agus Mansur, S.T., M.Eng.Sc.IPU, yang juga merupakan dosen pada Program Studi Teknik Industri UII hadir sebagai narasumber.

Agus Mansur dalam pemaparannya mengemukakan social commerce dan e-commerce memilik banyak perbedaan. Social commerce menginformasi produk yang ditawarkan melalui siaran langsung, gambar stereoskopik dan dinamis, serta video. Konsumen pada social commerce mampu secara natural mengubah peran mereka menjadi penjual. Mengikutsertakan komunitas online yang mendukung koneksi untuk meningkatkan percakapan antara konsumen.

Social commerce adalah penggunaan sosial media untuk transaksi dan aktivitas bisnis yang dipromosikan terutama oleh interaksi sosial dan kontribusi pengguna. Konsumen pada social commerce sekarang tidak pasif lagi, tetapi mereka menjadi bagian dari suatu produk melalui fitur ruang komentar, reviu, rekomendasi, dan berbagi konten,” jelas Agus Mansur.

Ia menambahkan, peluang social commerce di Indonesia sangat tinggi. Dibuktikan dengan total individu yang menggunakan internet saat ini mencapai 185,3 juta individu dengan konektivitas ponsel seluler menyentuh angka 353,3 juta. Selain itu pengguna media sosial mencapai 139 juta individu

“Rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari 3 jam screen time harian dalam mengakses media social, dengan 47,9% waktu tersebut dihabiskan untuk mencari inspirasi kegiatan dan produk, ini benar-benar potensi bagi dunia bisnis yang harus dimanfaatkan dengan baik,” tambahnya.

Disamping itu, Agus Mansur menjelaskan dengan adanya social commerce bagi seorang engineer tidak hanya memikirkan menjualnya saja tetapi bagaimana rantai pasok (supply chain) dapat terjadi dengan baik.

“Ada tiga flow dalam supply chain yaitu flow informasi, material, dan  finansial. Material tidak mungkin didigitalkan. Untuk itu perlu pendekatan baru karena adanya social commerce ini supply chain harus merespon dengan baik jangan sampai barangnya sangat laris pada level marketingnya, tetapi level produksi tidak ada barang karena tidak sesuai dengan kemampuan produksinya,” ungkapnya.

“Materail tetap material, semua bisa didigitalkan dari iklannya, promosinya, membelinya, hinggan pembayarannya, tetapi barangnya tidak virtual. Kita lihat betapa social commerce mampu meningkatkan penjualan secara signifikan tetapi barangnya sampai ga secara tepat waktu, ini menjadi masalah jika ini terjadi,” paparnya.

Lebih lanjut, Agus Mansur menuturkan ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menjalankan supply chain di tengah meledaknya social commerce, yaitu kerentanan terhadap pemintaan yang fluktuatif yang melihat bagaimana komentar positif atau negatif sosial media mampu membuat fluktuasi pada permintaan dan sebagai implikasinya supply chain harus lebih agile dan responsif. (AHR/RS)