Sudahkah Tercapai Keadilan dalam Kasus Novel?
Kasus penyiraman air keras kepada mantan penyidik KPK, Novel Baswedan kembali bergulir. Dua terdakwa yang disidangkan dalam kasus tersebut, yakni Roni Bugis dan Rahmad Kadir Mahulette dituntut hukuman 1 tahun penjara. Jaksa penuntut umum menilai terdakwa dianggap “tidak sengaja” menyiram wajah Novel dengan air keras. Karena sebenarnya mereka berniat menyiram badan Novel. Tindakan itu mengakibatkan Novel mengalami cacat mata permanen.
Banyak pihak menilai tuntutan jaksa terlalu ringan. Sementara Mabes Polri sebagai kuasa hukum terdakwa meminta pelaku dibebaskan. Hal inilah yang kemudian menjadi bahan diskusi menarik bagi Klinik Advokasi Masyarakat dan Hak Asasi Manusia (KAHAM) UII. Bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta serta Wadah Pegawai KPK, mereka mengadakan diskusi daring yang menyoal kasus itu. Ada empat narasumber yang diundang yaitu Lakso Anindhito, Arif Maulana, Nissrina Nadhifah, dan Eko Riyadi.
Lakso mencatat tiga hal menarik terkait kasus Novel. Yang pertama adalah teror tanpa henti, baik ringan maupun serius yang dialami para penyidik KPK dari tahun 2015 hingga 2019. Kedua, terjadi kasus pembunuhan terhadap seorang jurnalis yang membongkar korupsi. Pembunuhan terjadi selang beberapa bulan setelah penyerangan terhadap Novel. Dan yang ketiga baru-baru ini ada serangan untuk melemahkan KPK.
“Jika penyerangan ini tidak terbongkar secara tuntas, bagaimana penyidik-penyidik lain akan merasa aman dan peneror tidak akan mendapatkan apapun. Ketika bicara mengenai masih adanya aktor intelektual tidak diminta pertanggungjawaban, bisa jadi pelaku akan melakukan hal serupa. Dan akan menghambat pekerjaan KPK ke depan”, ungkap Lakso.
Penyidik KPK tentunya memiliki standar perlindungan masing-masing. Bahkan setelah penyerangan terhadap Novel ada beberapa perbaikan yang dilakukan oleh KPK. Lantas bagaimana perlindungan yang maksimal?. “Perlindungan yang paling maksimal ialah dengan membongkar secara tuntas kasus penyerangan Novel dan kasus-kasus lain yang melibatkan teror terhadap pegawai KPK”, tambahnya.
Sementara itu, Arif menyatakan dalam koridor penegakan HAM, negara berkewajiban melindungi hak-hak warga negaranya. “Hukum itu untuk keadilan bagi warga negara. Yang menjadi persoalan adalah apakah mungkin penegakan hukum dan HAM dilakukan ketika aparat penegak hukum tidak bisa bergerak secara independen”, tegasnya.
Dari sekian banyak aktivis pemberantasan korupsi yang menjadi korban teror, sangat sedikit dari mereka yang mendapatkan keadilan. “Kita meminta supaya tidak hanya kasus Novel yang diungkap. Banyak kasus lainnya yang harus diungkap. Semoga publik memberikan dukungan bagi penegakan hukum dan yang mulia hakim dalam kasus Novel, mengambil keputusan progresif”, harapnya.
Mengenai tuntutan jaksa, pembicara Eko Riyadi memberikan tanggapan, “Nampaknya kita harus bersiap untuk mengambil kesimpulan yang semoga itu keliru, bahwa jangan-jangan proses peradilannya itu disengaja untuk gagal”.
Ia berharap masih ada ruang untuk meyakini bahwa proses peradilan di Indonesia bisa dipercaya untuk mengungkap kebenaran dan keadilan. Dengan ini, kita masih punya harapan akan baiknya proses peradilan di masa mendatang.
Ia melihat apa yang menimpa Novel bukan sesuatu yang jarang di Indonesia bahkan internasional. Tren penyerangan terhadap pembela dan kebebasan berpendapat terus meningkat. Padahal itu cikal bakal untuk orang berfikir kritis.
Ini bukan sesuatu yang hanya sekedar iseng belaka, namun terencana, terstruktur, ada rantai komando, dan di balik kejahatan ini bermain cukup baik, karena ternyata kejahatannya diikuti orang lain juga.
“Cara melawannya juga harus diseimbangi dengan cara-cara yang sistematis juga”, timpal Nisrina Nadhifah.
Ia menaruh harapan pada kepedulian publik dan sikap kritis terhadap kasus ini. Publik harus jauh lebih rajin membaca laporan-laporan yang pernah ada dari kuasa hukum. Dengan membaca, mereka bisa membedakan mana yang kaya akan unsur-unsur politik dan kaya akan fakta. (MRA/ESP)