Srawung Demokrasi #2, Bahas Kerapuhan Etika dalam Hukum dan Politik Indonesia

Akademisi yang juga Aktivis sekaligus pengamat politik, Suparman Marzuki dan Prof. Ikrar Nusa Bakti merespons isu terkait krisis etika politik demokrasi saat ini. Gagasan tersebut dikemukakan dalam Srawung Demokrasi #2 dengan tajuk “Meneguhkan Kembali Etika Bernegara Hukum” yang digelar oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII) pada Selasa (24/9) di Ruang Teatrikal Lantai 1, Gedung Dr. Sardjito UII.

Diskusi kedua yang diadakan PSAD UII ini, dibuka oleh Dewan Penasehat PSAD UII, Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U. melalui rekaman video. Prof Mahfud mengemukakan bahwa topik yang diangkat dalam Srawung Demokrasi #2 disebabkan kerapuhan etika dan moral dalam menegakkan hukum.

“Persoalan atau salah satu masalah utama di negara kita ini adalah etika di dalam bernegara termasuk di dalam berhukum. Di dalam berhukum sekarang ini sudah sering dilepaskan dari beretika. Orang berhukum sekarang mencari menang, bukan mencari benar, bukan mencari keadilan sehingga yang diutamakan dalam pertarungan hukum itu adalah mencari kebenaran formal. Padahal, hukum yang formal seperti pasal-pasal itu kan penuangan dari etika dan moral. Akibatnya, hukum menjadi formalitas semata padahal hukum adalah formalisasi atau penghukuman dari nilai-nilai etik moral, agama, budaya, dan sebagainya yang dituangkan menjadi hukum,” tutur Prof. Mahfud.

Menghadirkan Suparman Marzuki selaku Mantan Ketua Komisi Yudisial. Membahas terkait etika bernegara hukum, permasalahan dan tantangannya ke depan, ia menilai etika bernegara hukum itu mengandalkan dua elemen penting yang dapat diamati yaitu personal atau orang dan institusi. Namun, 10 tahun terakhir dari dua hal ini realitanya, personal yang berintegritas dibuang dan institusi dirusak. Pandangan Suparman menguat dengan kutipan Stephen Hurwitz seorang ahli kriminologi.

“Kejahatan itu terjadi ketika niat dan kesempatan bertemu. Niat itu personal, kesempatan itu sistem, problemnya di kita orang buruk dipertemukan dengan sistem yang buruk, jadi. Inilah yang terjadi di KPK, ini juga yang terjadi di sebagian MK sehingga putusan terkadang tidak tepat,” tuturnya.

Suparman Marzuki juga menerangkan soal dua elemen penting untuk membangun etika dalam kehidupan bernegara yaitu ketika hukum dibuat dan ketika hukum dilaksanakan. Menurutnya, dua unsur ini tidak dapat dipisahkan, hukum yang baik akan mengurangi penerapan hukum yang tidak baik. Dalam membuat hukum juga harus memastikan prinsip-prinsip etika seperti transparan, akuntabel, partisipatif. “Nggak dilakukan pembuat undang-undang yaitu DPR bersama pemerintah. Hampir semuanya itu diam-diam, dibahasnya diam-diam,” tandasnya.

Lebih lanjut, Suparman Marzuki menuturkan bahwa permasalahan di Indonesia bukan soal undang-undang, tetapi institusi dan personaliti penegak hukum. “Kalau penegak hukum punya moralitas etika yang baik, maka hukum yang buruk bisa dijalankan. Dan terakhir, kami memprakarsai untuk dibentuknya Mahkamah Etika, di atas hukum,” jelasnya.

Di tempat yang sama, Prof. Ikrar Nusa Bakti selaku Peneliti Senior LIPI mengungkapkan pengamatan kawasan negara yang paling susah untuk menjalankan sistem demokrasi yakni Timur Tengah. Pandangan ini ia sampaikan dengan melihat fenomena pemimpin eksekutif membubarkan parlemen. Dengan demikian, Prof. Ikrar memandang bahwa politik bisa dianggap menarik, terkadang menghibur, atau bahkan kotor. Politik juga mempelajari tentang hubungan antara elite dan elite, elite dan massa, dan massa dan massa.

“Anda jangan terlalu mendukung elite dengan sepenuh hati. Kenapa? Karena biasanya kepentingan antar elite jauh lebih penting dan melembaga daripada elite dengan massa. Saya beri contoh, misalnya parpol yang mendukung A menjadi calon presiden, tapi kemudian menjadi calon gubernur Jakarta aja me-retelin,” tuturnya.

Prof. Ikrar menambahkan bahwa etika mengajarkan baik dan buruk sehingga menjadi elemen yang sangat penting, terutama dalam membuat keputusan politik atau hukum. Hukum harus didasarkan pada etika hukum sesuai asas keadilan bagi kebaikan semua warga negara dan penerapannya tidak boleh tebang pilih. Sementara itu, politik dimaknai sebagai dua sisi yakni pembuatan kebijakan bersama dan pelaksanaan kekuasaan.

“Politik itu adalah pembuatan kebijakan untuk kelompok manusia di satu tempat tapi politik juga bagaimana ia menggunakan kekuasaan. Tentu saja, dalam hal ini power atau kuasa bermain. Kekuasaan ini sebagai bentuk mempengaruhi orang melalui berbagai bentuk, yaitu paksaan, bujukan, konstruksi, dan insentif,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Prof Ikrar menyatakan bahwa demokrasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Pendapat itu ia ungkapkan dengan melihat fenomena yang terjadi beberapa waktu terakhir, yaitu kasus dinasti politik dan orang dengan cacat etika terpilih. Degradasi penerapan empat kesepakatan bangsa bahkan menyebabkan demonstrasi mahasiswa pada 22 Agustus 2024.

“Lantas, mengapa mahasiswa dan kalangan intelektual ikut demonstrasi? Karena kita seakan-akan dilecehkan. Anda bisa lihat, bagaimana seorang presiden yang seharusnya mendasari dirinya pada konstitusi, itu mengatakan, ya kita hormati keputusan dari DPR yang melakukan revisi undang-undang pilkada, dan kita hormati MK yang mengeluarkan putusan. Pertanyaan saya, dia ngerti ga sih bahwa konstitusi meletakkan MK sebagai mahkamah tertinggi apakah undang-undang itu bertentangan atau tidak,” imbuhnya.

Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si., selaku Kepala PSAD UII yang juga dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UII menyampaikan tujuan diadakan Srawung Demokrasi ini guna meninjau etika politik dan nasib demokrasi Indonesia ke depan dari kacamata perguruan tinggi sebagai wadah diskusi.

“Di samping menjadi ikon dari Pusat Studi ini yaitu bagaimana demokrasi itu menjadi sebuah pilihan amanat sesuai sila keempat Pancasila. Melalui srawung ini, demokrasi menjadi sesuatu yang way of life, gaya hidup kita, dimulai dari anak-anak muda, dikelola oleh universitas melalui Pusat Studi Agama Demokrasi. Dari sini UII berangkat untuk memposisikan diri berada dalam pergulatan akademik dan aktivisme perguruan tinggi sebagai civil society untuk penguatan demokrasi,” tutur Prof. Masduki. (DA/AHR/RS)