Solusi Mengatasi Lapas Kelebihan Kapasitas

Klinik Advokasi dan Hukum (KAHAM) UII menyelenggarakan diskusi daring bertema “Amuk Si Jago Merah di Hotel Prodeo: Urgensi Reformasi Hukum Pidana Indonesia dalam Merespon Pemenuhan HAM Warga Binaan” pada Kamis (23/9). Diskusi ini menghadirkan pemateri, di antaranya yaitu Erasmus A.T. Napitulus, S.H. (ICJR) dan Fuadi Isnawan, S.H., M.H. (Dosen FH UII).

Dalam diskusi tersebut, Erasmus mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, ada 13 Lembaga Pemasyarakatan (lapas) di Indonesia yang terbakar. Dari 13 lapas tersebut, 10 diantaranya merupakan lapas yang mengalami overcrowding atau jumlah penghuni telah melebihi batas maksimal. Diketahui 4 lapas terbakar karena arus pendek listrik dan 5 lapas terbakar karena kerusuhan dari penghuni lapas, yang marah kemudian membakar benda-benda di lapas.

Fenomena overcrowding lapas ini menjadi problematik yang cukup fundamental. Erasmus mengatakan, berdasarkan sebuah penelitian, tercatat jumlah tahanan di Polri sejumlah 36.253 orang, sedangkan jumlah tahanan di rutan sejumlah 36.179 orang. Angka ini menurutnya menunjukkan adanya kelipatan jumlah overcrowding lapas yang mencapai 100-200% . 

Erasmus berpendapat penahanan eksesif menyebabkan hal ini terjadi. Penahanan eksesif dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti di Indonesia, masih menerapkan prinsip post factum, yaitu prinsip untuk menahan seorang tersangka, sebelum diuji perkaranya. Prinsip inilah yang kerap kali menyebabkan polisi mudah untuk menahan seseorang.

Selain itu, insentif anggaran sebagai indikator performa yang dinilai dari banyaknya jumlah perkara yang ditangani. Serta adanya Insentif Aparat Penegak Hukum (APH), yaitu diberikan untuk mempercepat beban perkara dan melakukan pengujian.

Menurut Erasmus, data kejahatan di Indonesia saat ini stagnan, tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan dari keseluruhan perkara yang ditangani, 60-70% nya adalah tindak pidana narkotika.

“Sayangnya, UU Narkotika ini gagal untuk membedakan antara pengguna dan bandar narkotika. Seharusnya pengguna narkotika tidak di penjara, tapi dilakukan pendekatan kesehatan dengan rehabilitasi,” ujarnya.

Langkah tersebut akan manjur untuk mengatasi overcrowding lapas. Adapun, cara lainnya yang dapat dilakukan yaitu dengan merevisi UU Narkotika dan menggunakan alternatif pidana lain selain penjara dalam menghadapi suatu perkara.

“Di Belanda, penjara bisa sepi, karena mereka menerapkan pidana alternatif, yaitu apabila suatu perkara dapat ditangani dengan pidana lain, seperti denda, dll, maka tidak perlu penjara untuk menanganinya,” pungkasnya.

Sementara itu, Fuadi menjelaskan bahwa keadaan lapas di beberapa negara berbeda dengan di Indonesia. Di Norwegia misalnya, lapas didesain seperti asrama yang memiliki beberapa fasilitas penunjang, seperti kasur, meja belajar, televisi, dll. Lapas di beberapa negara lain mayoritas digunakan untuk memulihkan seseorang dari kejahatannya, bukan untuk memberikan efek jera kepadanya. 

Sementara di Indonesia, lapas adalah tempat mengurung dan berkumpulnya para pelaku kejahatan untuk memberikan efek jera. Bahkan, menurutnya kerap kali orang yang keluar dari lapas, bukan menjadi lebih baik malah bisa melakukan kejahatan yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan teori kriminologi yang menyebutkan bahwa kejahatan bisa dipelajari.

Ia pun menilai prinsip pemaafan pidana (Judicial Pardon) layak dikaji untuk mengatasi persoalan tersebut.

“Contohnya, ketika ada orang yang tua renta, terkena kasus pidana seperti Nenek Minah yang mencuri tiga biji kakao, yang jika dihitung hanya sejumlah 30 ribu, apa manfaatnya jika ia dipenjara? Lebih baik dimaafkan saja,” ujarnya.

Kedua, kesadaran dari penegak sipil sangat dibutuhkan. Hal ini dapat diterapkan apabila ada seseorang yang terkena pidana yang terbukti karena kebutuhan pokoknya, seperti faktor ekonomi, dll. Akan lebih baik, jika para polisi menolongnya daripada menahannya di penjara. 

Ketiga, menerapkan prinsip ultimum remedium yaitu prinsip untuk menerapkan tindak pidana sebagai upaya terakhir. Apabila suatu perkara tidak bisa lagi ditindaklanjuti dengan upaya apapun, baru diterapkan pidana penjara. Dan keempat, menerapkan alternatif pidana lain sebagai primum remedium, yaitu mengutamakan penerapan pidana alternatif seperti denda, kerja sosial, pemaafan pidana, dll. dalam menyelesaikan suatu perkara pidana. (EDN/ESP)