Sertifikasi Halal untuk Pelaku Usaha
Inkubator Bisnis dan Inovasi Bersama (IBISMA) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali mengadakan pendampingan kepada tenant Program Calon Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (CPPBT) langsung di Gedung Simpul Tumbuh dan ditayangkan melalui Zoom Meeting. Pendampingan pada Kamis (24/02) kali ini membahas mengenai Sertifikasi Halal Produk. Materi dibawakan oleh pengurus MUI Sleman DIY, Dr. H. Nur Kholis, S.Ag., S.E.I., M.Sh.Ec.
Nur Kholis mengawali materinya dengan sebuah pernyataan dari Wakil Presiden RI, K.H. Maruf Amin. “Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia seharusnya dapat menjadi produsen produk halal untuk kebutuhan pasar domestik,” sebutnya.
Ia melanjutkan dengan pernyataan dari Pesiden RI, Joko Widodo. “Kita jadikan industri halal sebagai motor pertumbuhan ekonomi, ladang kreativitas, dan produktivitas generasi-generasi muda kita, agar bisa menjadikannya sebagai sumber kesejahteraan umat,” ujar Nur Kholis.
Wakil Dekan Bidang Sumber Daya Fakultas Ilmu Agama Islam ini menyampaikan bahwa pada akhir 2021, berkaitan dalam Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) sudah dialihkan langsung ke Kementerian Agama. “Jadi kalau panjenengan ngurus halal ini mesti ga bisa ke MUI lagi,” katanya. MUI hanya menjadi lembaga pemeriksaan saja. Kemudian, produk halal wajib memakai logo halalnya.
Menurut Nur Kholis, alur proses sertifikasi halal sudah lebih sederhana dibanding sebelumnya. Pelaku usaha dapat mendaftarkan diri melalui website halal.go.id, kemudian Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) memerikasa kelengkapan dokumen dan menetapkan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Setelah itu, LPH memeriksa dan menguji kehalalan produk. Lalu MUI akan menetapkan kehalalan produk melalui Sidang Fatwa Halal dan BPJH akan menerbitkan sertifikan halal. “Pendaftarannya nanti semuanya online,” tandasnya.
Lebih lanju Nur Kholis menjelaskan, produk berupa barang yang diwajibkan memiliki sertifikat halal adalah makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, barang yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Produk berupa jasa juga memiliki kewajiban bersertifikat halal, seperti jasa yang berkaitan dengan penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian.
Dijelaskan Nur Kholis, menurut Undang-undang di Indonesia produk makanan dan minuman harus memiliki sertifikasi halal yang hanya berlaku selama 5 tahun. Sedangkan untuk non makanan dan minuman yang diharuskan memiliki sertifikasi halal adalah obat, produk biologi termasuk vaksin, alat kesehatan, PKRT, non obat, non produk biologi, non alat kesehatan dan non PKRT. Produk non makanan dan minuman ini memiliki jangka waktu sertifikasi halal yang berbeda-beda.
Nur Kholis juga menjelaskan peraturan untuk produk yang tidak halal. “Kalau produk yang tidak halal itu harus menyebut tidak halal, baik berupa gambar, tanda, dan tulisan yang dicantumkan pada kemasan produk, bagian tertentu produk, dan tempat tertentu pada produk,” jelasnya. (MDL/RS)