Serba-Serbi Aset Kripto, dari Definisi hingga Hukumnya
Investasi uang kripto atau kerap disebut dengan cryptocurrency kini semakin digemari banyak kalangan di berbagai belahan dunia. Indonesia pun tak luput akan hal tersebut. Menanggapi hal ini, Pusat Pengkajian Ekonomi Islam (P3EI) UII menggelar webinar dengan tajuk Peluang Investasi Halal Cryptocurrency, pada Minggu (27/6).
Teguh Kurniawan Harmanda, M.Ec.Dev. yang merupakan Ketua Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) menjelaskan bahwa aset kripto merupakan komoditi yang tidak berwujud berbentuk digital aset yang menggunakan kriptografi, jaringan peer to peer, dan buku besar. Kedudukan kripto kerap kali menjadi pertanyaan bagi khalayak umum.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia (BI) No. 20/04/DKom tentang Virtual Currency, asset Kripto tidak diperbolehkan menjadi alat pembayaran yang sah di Indonesia. Regulasi lain juga diperkuat melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 99 Tahun 2018 mengenai Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto dan Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019 tentang ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka.
Regulasi tersebut memperjelas bahwa kripto bukanlah sebuat mata uang di Indonesia. “Kripto sebagai aset digital, kalau dibawa sebagai mata uang itu akan ada konflik dengan BI. akan tetapi kripto itu bisa digunakan dalam perdagangan berjangka. Kripto juga disebut sebagai komoditi layaknya emas, dan lainnya,” ungkap Teguh.
Setelah lebih dari satu dekade, kini ada berbagai macam jenis aset kripto. Menurut catatannya, terdapat lima jenis aset kripto. Pertama, Utility. Kedua, Asset-Backed Token. Ketiga, Security Token. Keempat, Decentralized Finance. Dan yang kelima, Non-Fungible Token.
Dalam pemaparannya, Teguh juga memberikan tips dan trik untuk berinvestasi pada aset kripto. Paling tidak ada empat poin yang disampaikan. Menurutnya, yang pertama kali harus dilakukan yaitu menambah wawasan mengenai aset kripto, lalu memilih pasar serta jenis aset kripto yang ingin diinvestasikan. Setelah itu jangan lupa untuk berinvestasi di platform yang sudah terdaftar di Bappebti, dan investasi,” pungkasnya.
Lebih jauh disebutkan pula mengenai tantangan yang ada untuk perkembangan aset kripto di Indonesia. Dalam presentasinya, disebutkan fluktuasi harga aset kripto pada kategori tertentu, minimnya edukasi mengenai aset kripto, industri yang terkait seperti Bank dan yang lainnya belum sepenuhnya memahami industri aset kripto, dan potensi digunakan sebagai pencucian uang, pendanaan terorisme dan penipuan.
Kendati tantangan yang ada kian mengintai peluang yang ada juga tidak kalah jauh. Indonesia dinilai dapat menjadi potensi besar ke depannya dengan populasi sebanyak 270 juta jiwa menempatkan Indonesia ada di posisi ke-4 dunia. Eksistensi regulasi dan badan khusus seperti Bappebti juga menjadi satu hal penting untuk menopang aset digital itu. Minat milenial juga turut berpengaruh. Dan yang terakhir, tentu keterbukaan akses dari ekonomi menjadi peluang tersendiri bagi eksistensi kripto nantinya.
Hukum Aset Kripto dalam Islam
Teguh memaparkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) telah mengeluarkan pendapat bahwa Bitcoin hukumnya mubah sebagai alat tukar bagi yang ingin mengakuinya, akan tetapi hal tersebut dikembalikan ke pemerintah. Sebagai alat investasi Bitcoin sendiri menduduki posisi haram karena hanya sebagai alat spekulasi dan lebih dekat dengan unsur gharar.
Dr. Yulizar Djamaluddin Sanrego, M.Ec. selaku Anggota Badan Pelaksana DSN MUI turut berbagi pemikiran mengenai penetapan hukum dari aset digital itu. Penetapan hukum dinilai menjadi penting untuk dipahami. Pasalnya, ketika telah jatuh hukum atas itu, maka itu adalah bagian (hasil) pemahaman tentang hakikatnya. Terlebih dikatakan hukum berlaku bersama ada atau tidaknya “illat”.
Adapun definisi ‘illat menurut Abdul Wahab Khalaf seorang ahli ushul fiqh, ‘illat adalah sifat yang terdapat dalam hukum ashal yang dipakai sebagai dasar hukum, yang dengan ‘illat itu akan diketahui hukum di dalam far’un (cabang). Beberapa kalangan ulama mencoba memberikan pandangan umum, salah satu perspektifnya adalah mengenai anonymous atau ketidakjelasan siapa yang mengawali. “Kalau dari sisi fiqih, sebetulnya ya harus diketahui siapa yang membuat,” tutur Yulizar.
Perspektif Islam
Islam memandang uang dalam beberapa hal, salah satunya sebagai alat tukar. Dalam perspektif ini, Yurizal mengutarakan bitcoin atau aset kripto sendiri dapat masuk sebagai alat tukar, dengan catatan apabila dapat diterima oleh khalayak umum dan ada otoritas yang mengatur hal tersebut. Maka, secara prinsip dan merujuk kepada fungsi utama uang. “Jika cryptocurrency dihukumi sebagai alat tukar, maka berlaku hukum Bay’ Sharf,” tulis Yurizal dalam presentasinya.
“Ketika dia dihukumi sebagai mata uang maka dia tidak bebas dijadikan sebagai objek jual beli atau instrumen investasi, karena memang sebagai alat tukar,” tegasnya.
Dalam pemaparan sebelumnya, Teguh mengatakan bahwa aset kripto dapat dikatakan juga sebagai komoditas atau dengan kata lain instrumen investasi. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Yurizal. Pasalnya harga yang ada menjadi tidak karuan. Menurutnya, terjadi campur aduk pemahaman antara investasi saham dan kripto. Dengan begitu, menyebabkan ketidakjelasan aset kripto akan orientasinya. “Tidak jelas mau dijadikan uang atau komoditas, yang terjadi sekarang di lapangan adalah dua-duanya (mata uang dan komoditas),” tuturnya bingun.
Islam juga menyoroti dengan ketat mengenai komoditas. Segala sesuatu yang dapat dimiliki dan berharga bagi manusia dianggap sebagai mal atau komoditi. “Apakah kripto dapat dihukumi sebagai komoditi yang berharga?” tulisnya. Mengenai hal tersebut, dikatakan bahwa ada kecenderungan dari harta untuk dapat memberikan manfaat secara umum dan dijadikan objek jual beli. Maka “ketika karakter dari suatu harta itu tidak ada bekas yang terlekat manfaatnya, itu bisa dihukumi sebagai sesuatu yang tidak bisa menjadi objek jual beli,” terang Yulizar.
Dalam konteks kripto, ketika harga Bitcoin rontok, yang tersisa dari hal itu adalah hanya kode hasil menang puzzle. Hal itulah yang menjadi kebingungan nilai manfaat apa yang tersisa. Yulizar mencontohkan, beda dengan ikan cupang ketika harganya, paling tidak ada sisa manfaat yang masih dapat dinikmati. Mengakhiri diskusi, Yulizar menekankan pada dasarnya aset kripto dimungkinkan menjadi alat tukar menurut perspektif syariah. Akan tetapi ketika diberlakukan sebagai alat tukar maka tidak dapat memiliki peran ganda, sekaligus instrumen investasi. (KR/RS)