Sensitivitas Dialektika dan Konteks
Saya bersyukur dan mengucapkan selamat atas jabatan guru besar untuk Prof. Drs. Allwar, M.Sc., Ph.D. Beliau adalah profesor ke-29 yang lahir dari rahim Universitas Islam Indonesia (UII). Saat ini, alhamdulillah, saat ini proporsi dosen yang menjadi profesor di UII adalah 3,7%.
Sejak 2018 terdapat penambahan sebanyak 15 profesor. Secara kelembagaan, sekarang adalah waktunya bagi UII memanen investasi benih yang disemai pada dua sampai tiga dekade yang lalu.
Saat ini, sebanyak 11 usulan untuk jabatan akademik profesor sudah lolos dari Majelis Guru Besar dan Senat Universitas. Sebagian darinya, sedang diproses di Jakarta.
Selain itu, UII masih mempunyai 248 doktor. Sebanyak 66 di antaranya sudah menduduki jabatan akademik Lektor Kepala. Mereka semua adalah para calon profesor. Semoga semuanya tercapai dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Dialektika ilmu pengetahuan dan teknologi
Izinkan saya di kesempatan yang membahagiakan ini mengajak untuk melakukan refleksi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selamanya menghadirkan kisah bahagia. Ada dialektika di sana. Selalu saja ada sisi baik dan juga sisi jahat.
Menurut saya, kesadaran yang terkesan sederhana ini perlu dilantangkan. Mengapa? Karena sensitivitas setiap ilmuwan dan intelektual, termasuk profesor di dalamnya, tidak selalu sama. Ada yang melihatnya secara optimistik dan mengabaikan sisi buruknya, dan sebaliknya, bahkan ada yang sangat apati dan menolak potensi baiknya. Tentu, ada gradasi di antara keduanya.
Sensitivitas terhadap dialektika dan konteks dapat diasah. Salah satunya, dengan peningkatan tingkat paparan.
Orang yang lebih banyak membaca topik tertentu sebagai indikasi tingkat paparan, misalnya, akan lebih sensitif dengan topik terkait. Orang yang lebih aktif melakukan diskusi dan refleksi juga demikian. Dan, berlaku sebaliknya.
Dimensi sensitivitas
Sensitivitas pun mempunyai dimensi spasial (ruang) dan temporal (waktu). Referensi spasial seseorang yang terbatas dan cenderung seragam, akan berbeda dengan mereka yang sering “piknik” ke wilayah lain yang beragam. Apalagi jika pikniknya lumayan jauh. Pengalaman spasial ini penting untuk mengasah sensitivitas.
Apa misalnya? Tidak semua yang kita bayangkan normal dan baik-baik saja di sebuah konteks spasial, akan juga demikian halnya di konteks lain. Yang berlaku di Yogyakarta, misalnya, belum tentu berlaku di wilayah Indonesia lain.
Sebagai contoh, hasil penelitian bibit padi dengan tanah dan iklim di daerah A belum tentu menghasilkan produktivitas yang sama ketika ditanam di daerah B dengan karakteristik tanah dan iklim yang berbeda.
Sensitivitas terhadap konteks spasial tampaknya lebih mudah dibayangkan, karena kasat mata.
Dimensi sensitivitas lainnya adalah temporal. Ada masa lampau, masa kini, dan masa depan. Apa yang tidak bermasalah di masa lampau, belum tentu sama di masa kini. Juda demikian halnya untuk masa depan.
Kedasaran temporal lebih sulit, karena harus menerka dampaknya di masa depan.
Ketika temuan ilmu pengetahuan dan teknologi diperkenalkan pertama kali, rasa bahagia dan takjub, biasanya hanya akan melihat sisi baiknya saja. Itu sangat wajar dan manusiawi. Tetapi perspektif temporal perlu melihat dalam horizon waktu yang jauh.
Kita ambil beberapa contoh. Robert Oppenheimer, ahli fisika berkebangsaan Amerika, yang dikenal sebagai bapak bom atom, menyesal karena bom atom buatannya telah membunuh ratusan ribu orang. Pada suatu saat, dia menyatakan, “tanganku berlumuran darah”.
Contoh lain. Mikhail Kalashnikov sang penemu senapan serbu AK-47, yang sangat terkenal karena desainnya yang sederhana, mudah diproduksi, dan mudah dirawat. Karena sadar, senapan tersebut digunakan di banyak peperangan dan konflik senjata dan telah membunuh banyak orang, suatu saat menjelang kematiannya, ia mengakui merasakan “penderitaan spiritual yang sangat perih”.
Jarang yang tahu, kalau Alfred Nobel yang kita kenal namanya sebagai sebutan penghargaan bagi tokoh dan ilmuwan dalam beragam bidang, juga yang menemukan dinamit. Awalnya dinamit digunakan untuk kepentingan sipil, tetapi kemudian juga untuk perang.
Sebelum meninggal, dia dihantui oleh kematian dan kerusakan yang diakibatkan oleh temuannya. Di dalam surat wasiat yang ditinggalkan, ia meminta kekayaannya dimanfaatkan untuk mendirikan yayasan yang merayakan pencapaian ilmu pengetahuan dan perdamaian.
Bukan berarti temuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak mempunyai sisi positif. Banyak sekali. Namun, sisi negatif yang tidak jarang inheren di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu dimitigasi. Tetapi, kesadaran mitigasi tidak mungkin dilakukan tanpa sensitivitas yang memadai.
Dua sisi inteligensi artifisial
Perkembangan mutakhir juga bisa memberikan ilustrasi serupa. Salah satu teknologi yang banyak mendapatkan perhatian adalah artificial intelligence (AI) atau inteligensi artifisial (IA). Sebagian dari kita menyebutnya dengan kecerdasan buatan.
Penelusuran melalui mesin pencari Google dengan kata kunci “artificial intelligence” menemukan 628 juta entri. Ini belum termasuk hasil pencarian dengan variasi namanya, dalam bahasa atau istilah lain.
Seorang pakar IA, Stuart Russell (2019) dari Inggris, yang saat ini menjadi profesor di University of California, Berkey, termasuk yang mengajak kita menyadari potensi masalah yang dapat terjadi ketika IA berkembang ke depan. Ajakan ini merupakan pertanda sensitivitas yang baik.
IA telah banyak disalahgunakan untuk mengeksploitasi manusia oleh manusia lain. Misalnya, IA telah memudahkan surveilans, persuasi, dan juga kendali, termasuk mengendalikan perilaku kita.
Kuasa yang dihasilkan dari penggunaan teknologi seperti ini, oleh Shoshana Zuboff (2019) disebut dengan kuasa intrumentarianisme (instrumentarianism power). Zuboff mengontraskan kuasa jenis ini dengan kuasa totalitarianisme (totalitarianism power). Jika yang kedua menggunakan teror, yang pertama menggunakan teknologi untuk memodifikasi perilaku. IA dapat membantu implementasi pendekatan ini.
IA juga bisa melengkapi pengembangan senjata otonom yang mematikan. Tentu saja, IA juga dapat mengambil alih sebagian pekerjaan yang selama ini memerlukan kehadiran fisik manusia untuk melakukan.
Apa saran Russell?
Kita tidak boleh kehilangan optimisme. Kita juga harus memitigasi pengembangan IA dengan menerapkan prinsip-prinisp baru. Termasuk di antaranya adalah menjadikan IA lebih altrustik untuk kepentingan manusia yang baik, lebih rendah hati dengan mengenalkan ketidakpastian, dan lebih memahami preferensi manusia yang beragam.
Referensi
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. London: Profile Books.
Russell, S. (2019). Human compatible: Artificial intelligence and the problem of control. UK: Penguin.
Sambutan pada acara Serah Terima Surat Keputusan Jabatan Akademik Profesor Drs. Allwar, M.Sc., Ph.D. di Universitas Islam Indonesia pada 19 Januari 2023.