Sembilan Persen
Persentase di atas tidak terkait dengan perolehan kontestan pemilihan umum. Angka tersebut adalah proporsi lulusan SMA di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sebagian besar adalah warga asli, yang melanjutkan ke pendidikan tinggi. Dari 100 lulusan, hanya 9 yang berkesempatan kuliah. Sangat rendah.
Boleh tidak percaya, tapi itulah data yang dikoleksi oleh Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Dikpora) DIY. Fakta ini tentu pahit dan karenanya diharapkan menjadi pencelik mata.
Setelah mengetahui fakta ini, sekitar dua tahun lalu, beberapa upaya telah penulis dilakukan. Niat awalnya sederhana: membuat isu ini mendapatkan perhatian bersama secara serius. Penulis menyampaikan isu ini di beragam forum formal dan informal. Termasuk di antaranya dengan para pimpinan perguruan tinggi swasta, anggota parampara praja, Ketua DPRD, dan bupati. Masalah ini juga penulis sampaikan ke anggota DPD RI yang pekan lalu berkunjung ke UII.
Tingkat partisipasi pendidikan tinggi yang rendah ini seakan terkubur di bawah angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (APK PT) DIY yang mencapai 74,08 persen (Susenas 2023). Dari 100 pemuda berusia 19 sampai 24 tahun yang tinggal di DIY, 74 orang di antaranya mengenyam bangku kuliah. Tapi, APK PT ini dapat mengecoh. Proporsi ini tidak hanya memasukkan warga asli DIY.
Untuk simulasi, kita anggap angka 9 persen sebagai data 2022. Lulusan SMA di DIY pada tahun tersebut sekitar 53.000. Artinya, kurang dari 4.800 yang kuliah, dan sisanya, lebih dari 48.000 tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Mereka memilih bekerja, berwirausaha, atau aktivitas lain.
Kita bisa bertanya: Apakah mereka tidak melanjutkan kuliah itu pilihan merdeka atau dipaksa keadaan? Tidak ada informasi spesifik soal ini, meski patut diduga, berkaitan dengan masalah ekonomi.
Karenanya, penulis sangat bersyukur, ketika kemarin (20/02/24) Dinas Dikpora DIY meluncurkan beasiswa berkelanjutan untuk pemuda DIY. Memang cacahnya masih kecil, tetapi ini merupakan langkah konkret yang perlu diapresiasi.
Beasiswa kuliah bisa diakses oleh pemuda berusia 18-24 tahun. Besaran beasiswa adalah Rp10 juta per tahun. Pada 2024 ini tersedia 150 paket. Cacah paket ini bertambah jika inisiatif serupa yang dilakukan oleh kabupaten dimasukkan, meski secara agregat sulit dikatakan cukup jika dibandingkan dengan angka 48.000 pemuda yang tidak kuliah setiap tahun.
Kita bisa bayangkan dampak jangka panjang jika masalah ini tidak diatasi. Termasuk di antaranya adalah kemungkinan warga asli terpinggirkan dalam kompetisi untuk mendapatkan beragama akses, termasuk dalam bidang ekonomi dan politik. Salah satu dampaknya lanjutannya adalah ketimpangan sosial antara warga asli dan warga pendatang. Ini menakutkan.
Jalan keluar permanen perlu dicari bersama-sama. Program intervensi harus menjadi gerakan kolektif. Perguruan tinggi negeri dan swasta yang mampu dapat terlibat. UII, misalnya, mulai 2024, mengenalkan skema beasiswa afirmasi pembebasan uang kuliah untuk warga asli yang tidak mampu. Untuk sementara tersedia 29 paket, satu orang per program studi jenjang diploma dan sarjana.
Sambil menunggu gayung bersambut, pertanyaan banyak pimpinan perguruan tinggi swasta yang sering dititipkan kepada penulis perlu juga disampaikan: Apakah mungkin sebagian dana keistimewaan dialokasikan untuk memperbesar cacah paket beasiswa?
Mari kita simulasikan untuk 1.000 paket per tahun menggunakan standar Kartu Indonesia Pintar Kuliah. Besar uang kuliah tengahan per semester Rp4 juta. Ini artinya perguruan tinggi tetap harus berkontribusi. Bantuan biaya hidup kluster terendah Rp800.000 per bulan.
Untuk 1.000 paket, pada tahun pertama dibutuhkan Rp17,60 miliar. Pada tahun keempat dan seterusnya Rp70,40 miliar untuk 4.000 penerima beasiswa aktif. Bandingkan dengan dana keistimewaan yang sebesar Rp1,42 triliun. Sebanyak Rp1,07 triliun (75,37%) dialokasikan untuk bidang kebudayaan. Kalau pendidikan tinggi dianggap sebagai bagian penting dari bidang ini, maka sudah sangat klop.
Tulisan sudah tayang sebagai Kolom Analisis Kedaulatan Rakyat pada 23 Februari 2024.