Sehat Mental Dengan Menjaga Kesehatan Reproduksi
Isu kesehatan reproduksi masih dianggap tabu oleh sebagian masyarakat. Membicarakannya saja dianggap sebagai hal yang kurang pantas. Hal tersebut berkorelasi sejajar dengan minimnya pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan reproduksi dan tingginya angka infeksi menular seksual (IMS).
“Kesehatan reproduksi seharusnya diajarkan sejak dini,” ujar Windyan Kestri Hardhani Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) pada acara Seminar yang diadakan oleh Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R) SMK N 1 Depok, Yogyakarta pada Sabtu (28/05).
Windyan menyinggung pentingnya kesehatan reproduksi diajarkan mulai usia TK. Pada usia tersebut baik pada anak laki-laki maupun perempuan diajarkan mengenai nama alat reproduksinya dan bagaimana cara membersihkan yang benar. Mereka juga diberi pemahaman jika bagian antara dada dan lutut perempuan tidak boleh dilihat maupun dipegang oleh orang lain.
Pada anak laki-laki adalah bagian tubuh antara pusar dan lutut. Mereka selayaknya diberi tahu jika ada orang lain yang melihat maupun menyentuhnya maka harus melapor kepada orang tuanya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan pada usia Sekolah Dasar anak-anak harus diajari mengenai bagaimana pergaulan yang baik. Pergaulan antara lawan jenis memiliki batasan berdasarkan norma sosial dan agama. Memakai pakaian yang sopan dan menghormati antara teman.
Kembali menyinggung terkait pengetahuan kesehatan reproduksi yang masih dianggap tabu, Windyan menganggap hal tersebut harus segera diubah dari pola pikir masyarakat. Pengetahuan tersebut harus diajarkan terutama oleh orang tua dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh anak-anak.
Apabila belum memahami betul terkait kesehatan reproduksi, maka orang tua bisa belajar melalui platform kesehatan yang terpercaya seperti www.kemkes.go.id dan jangan sampai memberikan edukasi yang salah kepada anak-anak.
Ia pun menilai cara penyuluhan seperti seminar dan pembuatan konten edukasi yang mendidik harus lebih giat lagi diadakan. Tentunya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. “Tingginya angka infeksi menular seksual karena rendahnya pengetahuan kesehatan reproduksi masyarakat,” tuturnya.
Windyan yang kini tengah menempuh pendidikan di Yogyakarta juga prihatin dengan keadaan kotanya yang makin marak dengan pergaulan bebas. Banyaknya perantau yang datang ke Kota Gudeg ini baik dengan tujuan menimba ilmu maupun bekerja kurang menghormati adat istiadat Jogja. Terakhir, ia menutup penyampaiannya dengan menyebut kesehatan fisik berkorelasi lurus dengan kesehatan jiwa seseorang. Semakin sehat fisiknya, semakin sehat jiwanya. (UAH/ESP)