Sandiaga Uno: Hukum Berkeadilan Perlu Untuk Melindungi UMKM
Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia menggelar webinar “Problematika Hukum dan Penerapan Prinsip Syariah di Era Ekonomi Digital” pada (5/8) melalui zoom meeting. Di samping webinar, penyelenggara juga mengadakan seleksi karya ilmiah yang dapat diikuti oleh mahasiswa seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Naskah karya ilmiah yang lolos seleksi nantinya akan diterbitkan dalam Prosiding Nasional Ber-ISBN.
Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, Ph.D menjelaskan, berdasarkan kaidah fikih, hukum berputar sesuai dengan alasan hukumnya, baik dalam mewujudkannya atau meniadakannya. Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah menyebut perubahan hukum dan fatwa hukum ini terjadi karena ada perubahan zaman, tempat, keadaan, kebiasaan, termasuk juga perkembangan teknologi informasi.
Prof. Fathul Wahid juga menambahkan ada dua perspektif yang dapat dilakukan seseorang untuk berfirkir. Pertama, perspektif deduktif, yaitu seseorang berpikir ketika ada masalah. Kedua, perspektif induktif, yaitu seseorang berpikir dengan melihat potensi. Keduanya saling melengkapi.
“Misal informasi yang ketika diterapkan di sebuah bidang, kira-kira apa yang bisa kita prediksikan terjadi dampaknya. Dengan meramalkan atau memprediksi apa yang akan terjadi setelahnya ini, maka hukum yang kita buat itu bisa berumur lebih panjang,” ujarnya.
Menurutnya, hukum mencakup nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi, yang bertujuan untuk memanusiakan manusia sebagai makhluk mulia. Di era teknologi seperti sekarang, ada banyak hal yang perlu dilindungi, salah satunya adalah terkait data pribadi. Bukan tidak mungkin, data tersebut dapat dijadikan sebagai modal untuk mengarahkan seseorang memasuki algoritma yang menjadikannya impulsif, konsumtif, dll. Dengan demikian, menurut Fathul, hukum memiliki peranan yang cukup penting untuk mengatasi hal-hal tersebut.
Pada sesi keynote, Dr. Sandiaga Salahuddin Uno, B.B.A., M.B.A. mengatakan di masa pandemi ini, setidaknya ada 15% dari UMKM Indonesia yang dapat mengambil peluang dengan akselerasi digitalisasi. Berdasarkan data dari Brain Google, kontribusi ekonomi Indonesia terus bertumbuh dari 44 miliar dolar di tahun 2020 menuju ke 124 miliar dolar di tahun 2025.
Ia menilai hal ini memunculkan beberapa tantangan positif dan negatif. Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan suatu kerangka hukum yang baik, yang senantiasa dapat memastikan agar dalam sistem perekonomian Indonesia, yang besar tidak mengeksploitasi dan yang kecil memiliki kesempatan untuk terus bertumbuh berkembang.
“Perangkat hukum yang tepat sangat dibutuhkan dan tentu akan menjadi sangat krusial dan mendasar. Hal ini agar dapat membangun peluang para pelaku UMKM untuk mengikuti perkembangan teknologi dan menjamin kepastian dan perlindungan hukum sekaligus meningkatkan daya saing Indonesia,” ujarnya.
Menurut Sandiaga transformasi ekonomi syariah saat ini tidak hanya fokus pada sistem perbankan dan keuangan. Melainkan sudah meluaskan sayapnya dengan mendorong prinsip-prinsip syariah yang bersifat universal. Sehingga prinsip ini bisa diterapkan kepada siapapun dalam melakukan kegiatan ekonomi di era digital ini. Penerapan tersebut sangat penting dilakukan untuk menyeimbangkan aspek dunia dan akhirat serta mencapai keadilan ekonomi.
Di sisi lain, pembicara Prof. Dr. Paripurna Sugarda, S.H., M.Hum., LL.M. mengupas tiga asas penting dalam pengelolaan perbankan. Pertama, asas kepercayaan, yaitu prinsip digital banking untuk membangun kepercayaan masyarakat. Dengan adanya dunia digital ini dapat memudahkan pekerjaan mereka. Kedua, asas kerahasiaan, yaitu prinsip bahwa bank wajib melindungi data nasabahnya dan simpanannya. Ketiga, asas kehati-hatian, yaitu mendapatkan kepercayaan dari regulasi perbankan untuk berpartisipasi dalam menggerakkan perekonomian suatu negara.
Selain itu, menurutnya dengan adanya perkembangan teknologi ini, berimplikasi juga pada sistem pembuktian. Bukti elektronik kini menjadi alat bukti yang diakui secara sah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat 1 UU ITE. Ia juga menambahkan, dalam penyelenggaraan perbankan digital, trust atau kepercayaan publik merupakan suatu hal yang sangat penting dan harus dijaga.
Selanjutnya, Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H. menyebut kurangnya edukasi masyarakat terkait pinjaman online kerap menimbulkan keluhan maupun kasus. Masyarakat sering kali tidak memikirkan risiko dan tidak mengukur batas kemampuannya untuk melunasi pinjaman online tersebut. Celah ini dimanfaatkan oleh para penyedia jasa pinjaman online ilegal untuk melakukan tindakan penagihan yang sampai merugikan si peminjam.
Dengan demikian, ia berkesimpulan pinjaman online ini setidaknya memiliki dua sisi. Sisi kemudahan akses harus senantiasa diseimbangi dengan peraturan yang memadai dan edukasi masyarakat. Ini bertujuan agar hukum dapat menjadi solusi dan tidak berjalan secara terpincang-pincang dengan peristiwa konkretnya. (EDN/ESP)