RUU Cipta Kerja di Tengah Pandemi Covid-19
RUU Cipta Kerja berpotensi merugikan hak-hak pekerja. Beberapa hal yang akan memberatkan tenaga kerja antara lain tidak dikenalnya upah minimum kabupaten/kota atau upah sektoral, upah bergantung pada pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan, dan penghitungan upah dalam satuan waktu.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi daring mengangkat tema Arah Kebijakan Jokowi Memerangi Rakyat atau Virus, pada Minggu (25/4) dengan pembicara Akademisi Perburuhan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Ayunita Nur Rohanawati dan Arief Novianto dari MAP Corner Club Universitas Gadjah Mada (UGM).
Dalam paparannya, Ayunita Nur Rohanawati menyebutkan isu Omnibus Law RUU Cipta Kerja seolah terkubur perlahan dengan adanya pandemi Covid-19 yang menimpa 200 negara lebih di dunia, termasuk Indonesia. Suatu sejarah yang tidak dapat dielakkan. Kebijakan pemerintah untuk work form home (WfH) dan physical distancing tentu berdampak pada situasi ketenagakerjaan, mulai dari ada yang dirumahkan, berkurangnya pendapatan, dan ada yang sampai mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Ayunita menegaskan bahwa manakala dijatuhkan keputusan “dirumahkan” maka yang dimaksud adalah kondisi yang memungkinkan untuk dikembalikan bekerja saat pandemi berakhir ataukah yang dimaksud dengan dirumahkan adalah PHK sebagaimana yang dimaksud dalam UUK. Hal ini harus dipastikan karena dalam UUK tidak mengenal adanya istilah dirumahkan tersebut.
“Oleh karena itu untuk memperoleh kepastian hukum saat dirumahkan, pekerja dan pemberi kerja hendaknya membuat hitam di atas putih yang memuat keterangan secara detail tentang keputusan dirumahkan,” paparnya.
Ayunita menambahkan, harapannya tidak ada lagi ingkar janji yang dilakukan oleh pemberi kerja pada pekerja jika nantinya pandemi berakhir dan pekerja berhak memperoleh kembali pekerjaan sebagaimana sebelum adanya pandemi dan keputusan dirumahkan tersebut. Pun dalam kesepakatan tertulis yang dibuat, juga harus memuat apa saja hak yang mampu dibayarkan dan akan diterima oleh pekerja selama dirumahkan tersebut.
Arief dalam paparannya, virus adalah organisme bodoh, ia hanya dapat tumbuh jika memilliki inang yang dapat digunakan sebagai parasit. Habitat asli virus sesungguhnya ada pada hewan-hewan liar di hutan belantara, namun dengan campur tangan manusia dalam merusak habitatnya dengan menempatkan alam sebagai kekayaan yang harus dikuasai atau diambil keuntungannya dari segelintir orang, maka virus tidak lagi bersarang pada habitat semula, melainkan berpindah pada tubuh manusia. “Nah, perumpamaan tersebut menjadikan Omnibus Law ini datang untuk memberikan ruang legitimasi bagi para elit tersebut” ujarnya.
Bahkan hal yang cukup menarik, menurut Arief bahwa di dunia ini hanya ada 2 jenis virus yaitu, Mikro Parasit: wabah yang mengancam kehidupan manusia yang berasal dari hewan lalu pindah ke tubuh manusia, dan Makro Parasit: makhluk yang menumpang pada hasil kerja orang lain, seperti pengusaha, politisi, dll.
Momen krisis seperti ini menjadikan pemerintah/penguasa dapat mengubah arah gerakan masyarakat menjadi berubah demi menderegulasi hak-hak masyarakat, salah satu contohnya ialah dengan membahas pengesahan omnibus law. Dalam kondisi pandemi seperti ini, gerakan sosial masyarakat haruslah kuat. (RA/RS)