Revolusi Taqwa 7.0 vs Revolusi Society 5.0
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) menyelenggarakan Seminar Nasional Revolusi Taqwa 7.0 vs Revolusi Society 5.0 dalam Rangka Menyambut Tahun Baru Islam 1444 H pada Minggu (24/07).Acara yang digelar secara daring melalui zoom meeting dan disiarkan di kanal YouTube ini mengundang berbagai ekspert keilmuan di bidang agama dan kesehatan.
Pembicara pertama, Ustadz K.H. Barli yang memaparkan topik mengenai hidayah, menjelaskan bahwa anak itu seperti putih polos dan tergantung orang tuanya akan menulis apa. Hal ini menjelaskan bahwa setiap orang memiliki bekal hidayah (fitrah). Bagi seseorang yang lahir dalam keluarga muslim maka perantara hidayah adalah orang tua. Kemungkinan hilangnya hidayah (murtad) itu kecil, namun kemungkinan untuk tidak berkembang biasanya sering. “Carilah hidayah dengan bergaul dengan orang alim,” pesan Ustadz K.H. Barli.
Menurutnya, setelah mencari hidayah taqwa maka dilanjutkan perlunya usaha untuk menjaga. Caranya beragam dan yang paling mudah adalah dengan menyebarkannya kepada sekitar. Bisa dimulai dari keluarga dekat, sahabat, dan khalayak masyarakat. Selanjutnya adalah dengan bergabung orang alim tidak terbatas di lingkungan pesantren. Namun, juga berbagai majlis ilmu seperti akademisi muslim dan peneliti muslim.
Selanjutnya topik mengenai taqwa sebagai modalitas terapi semua problem kehidupan dikupas melalui sudut pandangan filosofis, hukum islam, dan tasawuf disampaikan oleh Prof. Dr. H. Abdul Mustaqim, S.Ag., M.Ag. Makna taqwa menurutnya adalah takut yang mendekatkan kepada Allah Swt. Untuk meraih hal tersebut perlu mengamalkan isi Al-Quran semaksimal mungkin. Nantinya taqwa tersebut menjelma menjadi bentuk sebaik-baiknya bekal di akhirat. “Taqwa adalah menjaga diri,” jelasnya.
Menurut Abdul Mustaqim, saat seseorang bertaqwa maka sesungguhnya sedang menghindarkan diri dari segala hal yang menyakiti. Orang yang bertaqwa hidupnya seperti selalu memakai tameng pelindung. Contohnya adalah mengapa kita menghindari korupsi, mencuri, berzina adalah untuk menjaga dirinya sendiri. “Allah mengukur kemuliaan makhluk dari kualitas taqwanya,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia berpesan kepada seluruh audiens untuk tidak mendiskriminasi berdasarkan gender. Menjadi laki-laki bukan ukuran akan lebih mulia daripada wanita. Jabatan profesor bukan berarti lebih mulia dari doktor. Namun, bukan berarti seorang muslim tidak boleh menginginkan jabatan tersebut. Jadikan suatu jabatan sebagai perantara ketaqwaan kepada Allah swt. Taqwa adalah pakaian. Maka pakailah pakaian taqwa dalam setiap momentum dan pekerjaan kita.
Mengulik sudut pandang mengenai ketaqwaan terhadap pelbagai solusi kesehatan, dr. Syaefudin Ali Akhmad, M.Sc., menyampaikan sehat memiliki enam unsur R (raga, rasa, rasio, rohani, rupiah, dan relasi sosial). Dia menyampaikan suatu pendekatan metafisik terhadap kebutuhan spiritualitas pasien berdasarkan tiga aspek dasar kesehatan. Yakni historis kedokteran nabi, keilmuan kedokteran nabi, dan syariah kedokteran modern. “Seorang berjuang sejatinya untuk mencari makna dan tujuan di dunia dan akhirat,” tandasnya.
Disampaikan Syaefudin Ali Akhmad, ada tujuh hal yang ingin diraih manusia dalam hidup. Dimulai dari mencari kepastian, tantangan, eksistensi diri, relasi cinta, perkembangan, dan kontribusi. Seiring evolusi manusia menjadi techno sapiens. (UAH/RS