Rektor UII: Tidak Ada Garis Finis Dalam Belajar
Universitas Islam Indonesia (UII) mewisuda 1.040 lulusan pada pelaksanaan Wisuda Periode VI Tahun Akademik 2017/2018, di Auditorium Prof. Dr. Abdulkahar Mudzakkir UII, Sabtu (28/7). Wisudawan UII kali ini terdiri dari 3 doktor, 90 magister, 853 sarjana, dan 94 ahli madya. Sampai saat ini, UII telah meluluskan 92.352 alumni dan telah berkarya di beragam sektor, baik di dalam maupun luar negeri.
Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tertinggi pada jenjang magister diraih Heru Nurhadi, dari Program Studi Magister Akuntansi, dengan IPK 3,88. Sementara pada jenjang sarjana dan diploma IPK tertinggi masing-masing diraih oleh Saufa Ata Taqiyya dari Program Studi Hukum, dengan IPK 3,98 dan Tania Tunggadewi dari Program Studi Diploma Perbankan Keuangan dengan IPK 3,97 .
Disampaikan Rektor UII, Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. perkuliahan di perguruan tinggi, bukanlah akhir dari sebuah perjalanan studi. Menurutnya, dalam pandangan Islam belajar adalah misi sepanjang hayat, selama nyawa masih melekat, selama nafas belum tersendat. “Tidak ada garis finis dalam belajar,” ujarnya.
Fathul Wahid menuturkan, sebagian besar lulusan yang diwisuda adalah generasi milenial yang lahir dalam suasana yang berbeda dengan yang dulu Ia hadapi. “Tantangan Saudara berbeda dengan yang kami hadapi. Tantangan kami dulu adalah kemiskinan informasi, kami harus pandai dalam mencarinya. Tantangan Saudara banjir informasi, Saudara harus bijak dalam memilihnya,” pesannya.
Di hadapan lulusan UII Fathul Wahid juga menyampaikan pentingnya sensitivitas dalam membaca masalah. Kemampuan identifikasi pola masalah akan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan. Kualitas pada masa depan tidak cukup menjadi pembeda yang distingtif. “Kualitas tanpa kecepatan akan menjadikan kita kehilangan momentum. Kemampuan (ability) menghasilkan kualitas, tetapi keterampilan (skill) menjamin kecepatan,” jelasnya.
Disampaikan Fathul Wahid, keluhuran budi, kemuliaan watak, kesucian hati, diperlukan untuk menghadapi semua tantangan. Tak seorang pun di dunia ini yang berhak untuk menepuk dada dan menyombongkan apa yang telah dicapai.
“Dari pedagang kerak telor, sampai doktor. Dari masinis, sampai dokter spesialis. Dari pembuat batagor, sampai profesor. Dari petani, sampai kiai. Dari nelayan, sampai dekan. Dari mandor, sampai rektor. Dari penjual petasan, sampai ketua yayasan. Dari mantri, sampai menteri. Dari sinden, sampai presiden. Tak seorang pun yang mempunyai legitimasi untuk sombong,” ujar Fathul Wahid.
Satu-satunya yang berhak untuk sombong hanyalah Allah subhanahu wata’ala. Al-mutakbbir. Kesombongan inilah yang menjadikan iblis dilaknat oleh Allah. Fathul Wahid menegaskan, sombong tidak ada dalam kamus pembelajar sejati. Menurutnya kesombongan akan menutup pintu peningkatan kualitas diri. “Selalu rendah hati, tawadlu’. Hanya dengan sikap inilah, umat manusia akan menerima masukan dari banyak sumber pembelajaran,” ungkapnya.
Selain itu disampaikan Fathul Wahid, menjadi pembicara yang baik adalah baik, tetapi jangan lupa belajar menjadi pendengar yang baik. “Menjadi pendengar yang baik berarti kita menghargai orang, mengasah empati, dan sekaligus merendahkan hati. Untuk itu, tetaplah merasa bodoh, teruslah merasa haus akan ilmu,” tandasnya.
Sementara disampaikan Wakil Alumni UII, Moh. Rifky Nugraha. S.T., keterampilan dan spiritualitas alumni UII dapat menjadi problem solver bagi kondisi bangsa saat ini. ”Jangan lupa, selalu jadikan kegiatan kita semua bernilai ibadah, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam bersabda: “Khairunas Anfa’uhum Linnas”. Sebaik baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama manusia,” pesannya di hadapan lulusan UII.
Lebih lanjut disampaikan Rifky Nugraha, alumni UII yang saat ini sebagai Komisaris PT. Daya Mandiri Utama Makmur, wisuda menandakan bertambah tanggung jawab moral atas gelar yang disematkan. Selain itu keberhasilan para lulusan ke depan sangat bergantung kepiawaian dalam membaca peluang dan menciptakan peluang untuk memberdayakan diri sebagai insan yang sudah memiliki pengalaman belajar dan kompetensi diri.