Regulasi Praktik Psikologi Mendesak Disahkan
Banyaknya kasus malapraktik psikologi di kalangan masyarakat Indonesia telah lama menjadi perhatian publik dan para akademisi. Sayangnya, RUU Praktik Psikologi belum mendapat perhatian khusus dari kalangan legislator untuk segera disahkan.
Berangkat dari hal ini, Departemen Kajian dan Keilmuan Himpunan Mahasiswa Psikologi (HIMAPSI) UII menggelar Sharing Session Vol.2.1 yang mengusung tema “Maraknya malpraktik psikologi di kalangan masyarakat yang harus segera diatasi sehingga perlu mengetahui kelanjutan RUU Praktik Psikologi saat ini” pada Sabtu (10/7). Diskusi kali ini dipandu oleh Nana Alhamid, founder dari @soulhealer.id, dan menghadirkan Drs. Sumedi P Nugraha B.A., M.Ed., M.Sc., Ph.D., dosen Psikologi UII, dan dr. Tresnawaty, Sp.B. selaku Ketua Komisi 3 DPRD Kota Cirebon.
Sumedi memaparkan bahwa psikologi pada intinya mengandung dua sisi yaitu sisi konsep ilmu pengetahuan dan sisi aplikasi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Pendekatan teoritis dan aplikatif inilah yang pada hakikatnya ditujukan untuk kemaslahatan bersama, bukan hanya untuk diri sendiri.
“Dalam praktik tidak boleh asal, harus ada dasar yang bisa dipertanggungjawabkan dari sisi keilmuannya sekaligus harus mendatangkan manfaat bagi kehidupan manusia yang dilayani,” ujar Sumedi. Akan pentingnya hal ini, orang yang memberi pelayanan konseling sepatutnya teruji dan memiliki kemampuan dan kepekaan terhadap tingkah laku manusia dalam melaksanakan berbagai tugas dari profesi psikolog sesuai dengan kode etik psikologi.
Tentu untuk menjaga kualitas seorang psikolog, Surat Izin Praktik Psikologi (SIPP) harus diperbaharui setiap 5 tahun sekali. Sehingga pertanyaannya adalah, jika sudah ada kode etik psikologi dan juga SIPP, apakah perlu Undang Undang Praktik Psikologi diperjuangkan? Jawabannya adalah iya. Terpaut hal ini, dosen mata kuliah Kode Etik Psikologi tersebut juga menguraikan bahwa upaya hukum diperlukan untuk memperoleh perlindungan hukum bagi pelaku profesi dan juga klien karena adanya keterlibatan negara. Dengan adanya UU juga membuat orang lebih berhati-hati, sebab ada aturan yang jelas dengan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya.
Ketua Komisi 3 DPRD Kota Cirebon, Tresnawaty, menyetujui urgensi pengesahan RUU Praktik Psikologi tersebut, sehingga dibutuhkan perjuangan organisasi untuk mendaftarkan RUU ini ke DPR RI. Namun, walaupun hearing sudah dilakukan selama setahun bersama HIMPSI seluruh Indonesia, Sumedi mengungkap belum adanya respon serius dari pihak berwenang.
Tresnawaty menjabarkan bahwa untuk disahkannya RUU perlu melalui proses yang sangat panjang dan tidak mudah, maka diperlukan wakil rakyat yang menjadi perwakilan profesi psikologi untuk menjadi penggebrak sehingga RUU Praktik Psikologi bisa diprioritaskan untuk diterbitkan. Secara keilmuan tidak boleh dipengaruhi politik, tetapi prosesnya melalui politik. Sehingga antipati terhadap politik bukanlah hal yang tepat.
Sebagai penutup, Sumedi mengapresiasi sharing session kali ini sebagai media diskusi dan menjadi wadah yang merespon keresahan dan keingintahuan para mahasiswa disamping pendidikan formal.
“Khususnya mahasiswa program psikologi, kalau sudah resah dengan RUU ini jika belum bisa di goal kan oleh para senior, maka kalian lah. Ayo kalian berjuang untuk profesi kalian. Siapa yang akan menghargai profesi jika bukan kalian sendiri,” tutup dr. Tresnawaty. (MRS)