Reforma Agraria, Jaminan Perlindungan Hak Atas Tanah

Peran Pemuda

Pusat Studi Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHA FH UII) berkolaborasi dengan Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) UII dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) FH UII menyelenggarakan diskusi kolaboratif dengan mengangkat tema “Reforma Agraria: Jaminan Perlindungan Hak Atas Tanah bagi Warga Negara” pada Rabu, (20/10). Diskusi ini diadakan secara virtual melalui zoom meeting online dengan mengundang pemateri Dosen Hukum Agraria FH UII Mukmin Zakie, S.H., M.Hum., Ph.D. dan Mhd Zakiul Fikri, S.H., M.A., dari PSHA FH UII.

Mengawali penyampaian materinya, Mukmin mengatakan hak atas tanah di Indonesia sejak zaman dahulu tidak pernah lepas dari istilah Domein Verklaring. Domein Verklaring adalah pernyataan pada zaman Belanda yang menyatakan bahwa barang siapa yang tidak memiliki tanah atas hak eigendom, maka tanah tersebut akan menjadi milik negara. Penguasaan tanah oleh negara yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) hingga saat ini tidak ada batasannya. Hal inilah yang kemudian menurut Mukmin, menjadi alat pemerintah untuk menguasai tanah di Indonesia, yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat. Ini juga yang kemudian membuat negara menguasai tanah seluruhnya, termasuk tanah-tanah masyarakat adat yang tidak memiliki sertifikat/bukti kepemilikan atas tanahnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA, kewenangan negara untuk mengelola sumber daya alam mencakup tiga hal, diantaranya: 1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; 2) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, 3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Ketiga wewenang ini dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang mencakup kebangsaan, kemerdekaan, dan kesejahteraan.

Selanjutnya, dalam hal penguasaan tanah oleh negara ini, pada dasarnya pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra atau daerah otonom dan masyarakat-masyarakat hukum adat. “Berarti kalau ada masyarakat yang mendirikan pemerintahan atau komunitas hak ulayat, itu memang diakui dan dibolehkan, namun pada kenyataannya kan dihalang-halangi,” ujarnya.

Kemudian, terkait pemberian tanah kepada orang atau badan hukum, dapat dilakukan dengan pemberian kepadanya hak atas tanah. Hak atas tanah ini kemudian dilakukan pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam pendaftaran tanah ini, menurutnya ada dua macam, yaitu: pertama, pendaftaran tanah sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintahan Presiden Jokowi dengan mekanisme Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL). Kedua, pendaftaran hak atas tanah. Mekanisme yang kedua ini kerap kali menjadi problematik di masyarakat. Masyarakat seringkali menguasai sebuah tanah tanpa melakukan pendaftaran hak atas tanah atau belum memiliki sertifikat atas tanahnya. Ketika terjadi penggusuran tanah oleh pemerintah, masyarakat mengatakan bahwa itu adalah tanah miliknya secara turun-temurun.

Pengaturan terkait pendaftaran tanah, telah diatur secara lengkap dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 24 Tahun 1997. Namun, Mukmin menyampaikan, meski demikian banyak juga masyarakat yang telah mencoba mendaftarkan tanahnya, namun kantor pertanahan tidak mau mendaftarkannya, dan tidak berapa lama kemudian tanah-tanah tersebut telah berubah menjadi tanah Hak Guna Usaha (HGU). Hal ini, tentu perlu menjadi perhatian bagaimana negara bisa memberikan akses keadilan bagi masyarakat atas hak pemilikan suatu tanah.

Selanjutnya, Zakiul menyampaikan bahwa istilah masyarakat hukum adat hingga saat ini belum final baik dalam lingkup hukum nasional maupun hukum internasional. Jika melihat pada ketentuan UUD 1945, pengaturan mengenai masyarakat hukum adat menggunakan istilah masyarakat hukum adat. Untuk menilai keberadaan masyarakat hukum adat masih ada atau tidak, menurutnya dapat ditentukan dengan tiga indikator, yaitu territorial, genealogis, dan ideologis.

Pengakuan tentang adanya suatu masyarakat adat maka secara tidak langsung turut mengakui kedudukan dan harta masyarakat hukum adat. Harta masyarakat hukum adat salah satunya adalah tanah, yang kemudian dapat disebut juga dengan hak ulayat. Tanah ulayat adalah tanah yang diturunkan oleh nenek moyangnya secara turun-temurun, yang memiliki hubungan hukum publik. Hal inilah yang kemudian menyebabkan tanah ulayat tidak dapat diperjual belikan dan memiliki fungsi sosial.

“Fungsi sosial ini contohnya apabila saya punya tanah di kampung, kemudian tanah itu tidak saya gunakan dalam waktu yang lama. Kemudian, suatu hari Sania datang ke kampung dan mengklaim bahwa tanah itu miliknya, atas dasar saya telah menelantarkan tanah tersebut. Sania boleh mengambil tanah ulayat itu,” ujarnya.

Kemudian, Zakiul mengatakan berdasarkan laporan terbaru Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2018, terdapat 140 konflik yang melibatkan masyarakat adat dengan badan hukum, baik BUMN maupun swasta terkait klaim hak ulayat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah membentuk reforma agraria, yang tidak hanya memberikan sertifikat tanah kepada masyarakat, tetapi juga membolehkan masyarakat mengelola tanah tersebut. Namun, dalam prakteknya, tidak berjalan demikian.

Contohnya dalam suatu masyarakat adat yang mengalami konflik klaim hak ulayat dengan perusahaan, kemudian diselesaikan dengan reforma agraria, memang dibagikan sertifikat atas tanah kepada masyarakat adat tersebut. Namun, pengelolaan atas tanah tersebut tetap dilakukan oleh perusahaan. “Kerap kali masyarakat adat punya sertifikatnya, tapi mereka tidak dapat mengelola tanahnya. Ini artinya aset reformnya berjalan, tetapi tidak dengan akses reformnya,” ucapnya.

Terakhir, terkait permasalahan lainnya, Zakiul mengatakan bahwa dalam reforma agraria, masyarakat hukum adat tidak dimasukan sebagai subjek penerima hak reforma agraria. Hal inilah yang kemudian menyebabkan reforma agraria berjalan tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat berdasarkan hukum adatnya. (EDN/RS)