Refleksivitas Doktor Baru
Atas nama Universitas Islam Indonesia (UII), saya mengucapkan selamat kepada 26 doktor baru. Kehadiran Ibu/Bapak doktor baru, menjadikan cacah dosen dengan pendidikan doktor di UII menjadi 241 orang (atau 30,7%) dari keseluruhan 784 dosen. Persentase ini jauh di atas rata-rata nasional. Data pada akhir 2020 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan dari 309.006 dosen, baru 51.500 (atau 16,7%) yang berpendidikan doktor.
Saat ini, sebanyak 129 dosen UII juga sedang menempuh studi doktor, baik di dalam maupun di luar negeri. Jika semuanya berhasil dalam beberapa tahun mendatang, maka proporsi dosen UII yang berpendidikan doktor akan menjadi 47,2%.
Variasi perguruan tinggi
Saya juga berbahagia melihat variasi asal perguruan tinggi para doktor baru. Dari 26, sebanyak 12 orang lulusan beragam perguruan tinggi di Indonesia. Sisanya (14 orang) menuntaskan studinya di Jepang (5 orang), Australia (3), Turki (2), Belanda, Malaysia, Swedia, dan Thailand, masing-masing 1 orang. Keragaman ini sangat penting untuk menjaga dinamika gagasan dan diskusi.
Mengapa hal ini penting? Adagium ide dari banyak kepala lebih baik dibandingkan dengan satu kepala hanya valid jika memenuhi beberapa syarat. Ada paling tidak empat syarat: (a) keragaman opini – setiap orang harus mempunyai informasi privat, meskipun hanya merupakan interpretasi lain atas fakta yang ada; (b) independensi – opini orang tidak ditentukan oleh opini orang-orang sekitarnya; (c) desentralisasi – orang dapat memanfaatkan pengetahuan lokal; dan (d) agregasi – adanya mekanisme yang menggabungkan informasi privat ke dalam keputusan kolektif. Perspektf ini dipaparkan oleh Surowiecki (2005) dalam bukunya yang saya baca sekitar 15 tahun lalu, The Wisdom of Crowds.
Keragaman asal perguruan tinggi doktor baru, bagi saya, merupakan awal baik sebagai syarat terciptanya iklim yang kondisif untuk tumbuh dan berkembangnya gagasan segar.
Tidak semua berhasil
Keberhasilan 26 doktor baru adalah nikmat personal dan institusional yang harus disyukuri, karena tidak semua yang mengambil studi doktor dapat menyelesaikannya dengan beragam alasan.
Di Amerika Utara, tingkat kegagalan studi doktor diperkirakan mencapai 40-50% (Litalien & 2015). Di Australia, sebelum pandemi Covid-19 menyerang, sekitar 20% mahasiswa program doktor tidak menyelesaikan studinya. Ketika pandemi, mereka menghadapi masalah pendanaan akut, sebanyak 45% (dari 1.020 responden) kemungkinkan akan menghentikan studi sampai akhir tahun ini (Johnson et al., 2020). Di bidang sistem informasi, bidang yang saya tekuni, sebanyak sepertiga mahasiswa doktor gagal menyelesaikan studinya (Avison & Pries-Heje, 2005). Saya belum menemukan statistik serupa di Indonesia.
Saya insyaallah sangat paham perjuangan menyelesaikan studi doktor. Selain sebagai mantan pelaku, beragam kisah juga mampir di telinga saya. Tidak semuanya menyenangkan. Sebagian cerita lain sangat menantang. Alhamdulillah, Ibu/Bapak semua berhasil melaluinya dengan pertolongan Allah.
Meski demikian, capaian yang disertai kerja keras tersebut bukan alasan untuk jumawa dan menjadi besar kepala. Sebaliknya, banyak harapan besar digantungkan dan ini berarti tugas besar menunggu ditunaikan.
Inilah saatnya kembali mengabdikan ilmu dan pengalamannya untuk bersama-sama memajukan UII, yang merupakan milik kita semua. Ini juga pengingat untuk saya dan semua Ibu/Bapak yang saat ini memegang amanah.
Saya memberi sambutan di sini, juga karena amanah yang Ibu/bapak berikan kepada saya. Tidak selamanya. Posisi kita sama, yaitu dosen. Surat lamaran yang kita kirimkan ke UII beberapa tahun silam sama: melamar posisi dosen. Menjadi rektor atau pemegang amanah lain hanya merupakan tugas tambahan, untuk melayani warga UII.
Refleksivitas otonom
Saya berharap para doktor baru, bersama-sama dosen yang lain, dapat membuat perubahan di bidang akademik dan kelembagaan. Untuk itu, saya berharap Saudara dapat meningkatkan refleksivitas otonom (autonomous reflexivity), mengasah sensitivitas dalam membaca keadaan. Refleksivitas ini diperlukan untuk memahami konteks dengan lebih baik.
Di sana akan ada percakapan internal (internal conversation) yaitu aktivitas mental mandiri yang dialog internal dengan diri sendiri yang intensif tanpa melibatkan orang lain (Mutch, 2007). Kita bisa sebut dengan bahasa kasual sebagai solilokui (soliloquy): berbincang dengan diri sendiri.
Namun jangan disalahpahami. Tentu, pada kesempatan lain, hasil refleksivitas ini dapat diperkaya dan dikontestasi dengan ide orang lain. Tetapi, pesan kuncinya adalah menjadi pemikir mandiri dengan ide-ide yang tulen (genuine).
Saya percaya, refleksivitas yang mendalam akan menghadirkan kesadaran yang lebih komprehensif dan gambar yang lebih utuh. Ujungnya, adalah ide yang matang, atau paling tidak setengah matang, yang sudah melibatkan beragam variabel sebagai konsiderans. Pemikir yang seperti ini akan terhindar dari sindrom “seharusnya” atau “kudune”, yang biasanya karen kegagalan memahami realitas.
Tampaknya kita tidak sulit untuk bersepakat, seringkali asumsi tidak sesuai dengan realitas. Realitas merupakan hasil kontruksi sosial yang melibatkan banyak aktor dengan bermacam-macam motivasi dan kepentingan. Seringkali yang tampak tidak mewakili keseluruhan realitas.
Kesadaran seperti ini, pada akhirnya akan melahirkan ide yang selain berangkat dari pemahaman baika tas konteks kita berpijak, juga mendalami kekuatan diri sendiri, untuk menavigasikan perubahan di tengah beragam kekangan dan keterbatasan yang ada. Jika ini yang terjadi, maka akan lahir manusia-manusia yang tidak mudah mengeluh, tetapi justru menjadi produktif dan kontributif dengan inovasi strategi untuk tumbuh dan berkembang.
Namun, ada tantangan dalam melakukan refleksivitas. Salah satunya adalah yang disebut Bourdieu (1990) —sosiolog Prancis— sebagai habitus: kebiasaan, kecakapan, dan disposisi/tendensi yang mendarah daging secara sosial. Habitus tidak selamanya sesuai dengan tuntutan zaman dan karenanya dapat berubah.
Kebiasaan baru, hasil refleksivitas dan kontektualisasinya yang dijalankan terus-menerus dan membudaya sangat menjadi habitus baru. Habitus baru dibutuhkan untuk menjemput masa depan yang penuh ketidakpastian, seperti saat ini. Suka atau tidak suka, pilihan kita tidak banyak.
Referensi
Avison, D., & Pries-Heje, J. (Eds.). (2005). Research in Information Systems: A Handbook for Research Supervisors and Their Students. Oxford: Butterworth-Heinemann.
Bourdieu (1990). The Logic of Practice. Cambridge: Polity.
Johnson, R. L., Coleman, R. A., Batten, N. H., Hallsworth, D., & Spencer, E. E. (2020). The Quiet Crisis of PhDs and COVID-19: Reaching the financial tipping point. Research Square. doi: 10.21203/rs.3.rs-36330/v2
Litalien, D., & Guay, F. (2015). Dropout intentions in PhD studies: A comprehensive model based on interpersonal relationships and motivational resources. Contemporary Educational Psychology, 41, 218–231.
Mutch, A. (2007). Reflexivity and the institutional entrepreneur: A historical exploration. Organization Studies, 28(7), 1123-1140.
Surowiecki, J. (2005). The Wisdom of Crowds. New York: Anchor.
Sambutan pada acara penyambutan 26 doktor baru Universitas Islam Indonesia, pada 27 Desember 2021.