Refleksi UU Cipta Kerja Pada May Day

Pusat Studi Hukum FH UII mengadakan Diskusi Aktual dalam rangka Refleksi Hari Buruh 2021 dengan bertemakan “Masa Depan Perlindungan Hak Butuh Pasca UU Cipta Kerja dan Turunannya” pada Sabtu (01/05). Narasumber yang dihadirkan Prof. Dr. Ari. Hernawan, S.H., M.Hum. (Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan FH UGM) dan Masykur Isnan, S.H. (Labour Law Specialist Advocates & Legal Consultants).

Prof. Dr. Ari. Hernawan, M.Hum dalam materinya menjelaskan ada dua isu yang selalu menguat setiap memperingati Hari Buruh Internasional yakni precarious work dan decent work.

Precarious work artinya kerja-kerja tanpa standar misalnya mengenai ketentuan hari kerja yang berubah, upah yang rendah, tidak amannya keberlangsungan kerja, sulitnya bergabung dengan serikat pekerja, ataupun seperti hubungan yang kurang jelas antar pekerja.

Kebalikannya, decent work adalah kerja layak, seperti orang yang bisa memilih pekerjaannya sendiri, memiliki penghasilan yang cukup, pekerjaan yang bermartabat, dan perhatian akan keselamatan fisik maupun psikologis pekerja.

Untuk itu, diperlukan komitmen negara terhadap ketenagakerjaan secara tekstual. Negara berkewajiban menghargai hak-hak dasar di tempat kerja dan memberikan komitmen untuk membuka kesempatan kerja yang seluas-luasnya. Peran negara itu diwujudkan melalui regulasi atau undang-undang.

Sayangnya pada saat merumuskan UU Ketenagakerjaan seperti, UU Cipta Kerja (dan Turunannya), Prof. Ari Hermawan menilai pendekatan yang digunakan merupakan pendekatan elitis yang sifatnya dari atas.

Ia menyebut, peraturan pemerintah itu berpengaruh pada 3 segmen. Pertama, hubungan kerja mengalami pergeseran yakni fleksibilitas hubungan kerja seperti halnya mudahnya PHK terhadap pekerja. Kedua, kurangnya kebebasan berserikat bagi pekerja. Serta ketiga, meningkatnya konflik industrial dan penyelesaiannya di lapangan.

Sementara itu, Masykur Isnan menguraikan pada dasarnya Cipta Kerja bertujuan menciptakan lapangan kerja melalui kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan, koperasi, dan usaha, mikro, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, maupun investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.

Patut digarisbawahi, pada implementasinya UU Cipta Kerja cenderung menciptakan hyper regulasi yakni UU dan PP. Kemudian UU Cipta Kerja dan PP tidak mengganti keseluruhan UU No. 13/2003 dan peraturan pelaksanaannya. UU Cipta dilakukan parsial tidak komprehensif dalam konteks ketenagakerjaan yakni UU lain tidak dibahas (UU SP/SB dan UU PPHI). Sedangkan dalam konteks ketenagakerjaan, permasalahan aktual yang belum terjawab mengenai kompetensi dan integritas ASN/PNS di bidang ketenagakerjaan/POLRI/Pengadilan. (FHC/ESP)