Realita Pendidikan Indonesia di Masa Pandemi
Sudah menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi pemerintah dan guru di Indonesia untuk memikirkan kembali cara-cara kreatif dan invoatif bagaimana pembelajaran daring diterapkan bagi seluruh siswa di masa pandemi Covid-19. Pasalnya tidak semua terkhusus mereka yang di daerah terpencil seberuntung siswa di ibu kota yang berfasilitas memadai.
Isu tersebut menjadi fokus utama dalam diskusi bertajuk ELT Stuff: Online Learning in The Time of Covid-19: Expectation vs Reality yang diadakan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Islam Indonesia (PBI UII) pada Jumat (15/5) secara daring.
Dalam masa pandemi Covid-19, pembelajaran daring diharapkan menjadi solusi utama dunia pendidikan melanjutkan kegiatan belajar-mengajar. Nanik Sri Rahmini, M.A., English Teacher at SMK Negeri 2 Wonosobo, M.A. in Language & Education, The University of Sheffield, UK, menyampaikan bahwa masalah yang dihadapi dalam pembelajaran daring pada Sekolah Menengah Atas (SMA) biasanya adalah dari aspek teknis seperti akses internet dan literasi siswa.
“Berbeda dengan mahasiswa dan dosen yang sudah cukup familiar, anak SMA menganggap ini layaknya telepon video biasa bersama teman dan guru,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa polemik pembelajaran daring ini justru mengundang permasalahan yang berbeda-beda. Nanik menyampaikan bahwa ada seorang guru negeri ditempatkan di tempat yang jauh yang tidak ada listrik, dan hampir semua orang tua siswa berpikir lebih baik anaknya untuk membantu mereka bekerja daripada harus sekolah. Jangankan berharap untuk melakukan pembelajaran daring, Nanik justru bersyukur jika siswa dapat datang ke sekolah. “Dalam kondisi seperti ini, siswa tidak berpikir ini adalah pembelajaran daring, tapi justru adalah hari libur,” tandasnya.
Helena, seorang dosen di Maluku, melihat bahwa akses internet dianggap di Maluku terbilang mewah, bahkan bagi mahasiswa. “Pembelajaran daring masih sangat baru di Maluku sana,” tuturnya.
Partisipan lainnya, Audi Yundayani berpendapat bahwa guru dan murid dipaksa untuk siap dalam pembelajaran daring. Terlebih ia menganggap teknologi hanya sebatas alat bantu dalam proses pembelajaran. “Percuma memiliki teknologi canggih, tapi nilai pedagogisnya hilang. Tidak ada keterlibatan dan hubungan antara siswa dan guru disana. Tidak ada afektif, tidak ada cinta,” paparnya.
“Jangan sampai terjebak dengan teknologi,” katanya. Pasalnya banyak dari siswa sendiri yang belum memiliki literasi teknologi yang mumpuni. Lebih jauh, ia mengungkapkan kalau sebenarnya siswa memiliki hak yang sama untuk menempuh pendidikan, namun kondisi membuat mereka harus menempuh itu dengan cara yang berbeda-beda.
Willy Prasetya, M.A., salah satu dosen PBI UII menutup diskusi dengan tiga kata. “Flexibility, Compassion, dan Engangement. Flexibility artinya kita tidak harus memaksakan ekspektasi pada realita yang ada. Compassion artinya memastikan kondisi mental siswa yang baik sebelum dan saat proses pembelajaran berlangsung baik daring maupun luring. Engagement artinya dengan mental yang baik akan berujung pada rasa antsusiasme dan sinergitas yang baik antara siswa dan guru,” tuturnya.
Tentunya tiga kata tersebut berlaku pada setiap kondisi pembelajaran dengan atau tanpa teknologi yang mumpuni karena sejatinya pendidikan merupakan proses mengeluarkan potensi siswa dengan cara yang berbeda-beda dengan upaya terbaik. (IG/RS)