,

Realisasi Moderasi Beragama di Ranah Pendidikan

Kehidupan bermasyarakat hendaknya dilandasi dengan rasa toleransi sebagai wujud saling menghargai keragaman manusia. Untuk menjembatani perbedaan dapat diupayakan melalui pendidikan agar tercipta kehidupan keberagamaan yang menimbulkan sikap saling menghormati dan menghargai antar umat beragama.

Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Indonesia (PAI UII) bersama Perkumpulan Pengembang Pendidikan Intereligious (PaPPIrus) Yogyakarta, menghelat Seminar Nasional bertemakan Realisasi Moderasi Beragama di Ranah Pendidikan Menengah dan Tinggi di Abad-21, pada jum’at (11/12). Seminar yang diikuti oleh guru-guru Agama ini menghadirkan Guru PAI SMA PIRI 1 Yogyakarta, Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam UII, Supriyanto Abdi, S.Ag., MCAA., Pengajar Prodi Pendidikan Keagamaan Katholik Universitas Sanata Dharma, Rm. Alexander Hendra Dwi Asrama, Ph.D., dan Pakar Pendidikan Kristiani Universitas Kristen Duta Wacana, Pdt. Tabita Kartika Chtustianti, Ph.D.

Disampaikan Praktisi pendidikan Anis Farikhatin, beberapa penelitian menunjukkan bahwa lingkungan sekolah sudah menjadi ruang berkembangnya paham ekslusifisme yang cenderung mengarah pada pemikiran radikal. Moderasi beragama kini menjadi simbol perekat segala bentuk keragaman agama di Indonesia. Cara pandang yang melahirkan sikap beragama yang seimbang yaitu antara pengalaman agama sendiri (ekslusif) dan pengormatan kepada praktik agama yang berbeda keyakinan (inklusif).

Pentingnya menghadirkan sosok guru agama yang moderat sebelum mengimplementasikan nilai-nilai moderasi ke peserta didik bertujuan agar tersampaikannya nilai-nilai kebangsaan sebagai warga negara yang baik menurut Pancasila. Kehadiran pendidikan agama merupakan penguat suatu bangsa. “Sosok guru moderat itu dijadikan menjadi empat hal yaitu komitmen kebangsaan, teleransi aktif, anti kekerasan serta akomodatif terhadap budaya lokasi,” tuturnya.

Alexander Hendra menyebutkan, pendidikan agama di Perguruan Tinggi perlu mengintegrasikan dua komponen, yakni membangun kesadaran akan konteks pluralisme agama dan budaya serta perlu tanggap pada tantangan zaman yang berubah. Maka pendidikan agama perlu menyediakan pengetahuan dan memberikan pembelajaran yang kritis tentang agama-agama di dalam masyarakat. Menurut hasil penelitiannya yang dilakukan pada tiga Universitas Katholik yang berbeda, pendidikan religiositas menekankan pada pembentukan iman (being religious) sebagai jembatan dalam perjumpaan antar umat beragama.

Pendidikan interreligious menkankan pada wawasan beragama (religious literacy) sebagai titik pijak bagi hidup beriman yang kritis dan terbuka. Religious question menekankan pada peran agama dalam menjawab tantangan eksistensial individu dan sosial (religious reflexivity). “Di Universitas Atmajaya, hal yang ditekankan adalah wawasan beragama atau religious literacy sebagai titik pijak bagi kehidupan yang kritis dan terbuka, pentingnya memahami religious literacy berupa pengetahuan agama secara umum dinilai mengurangi rasa sensitif terhadap pemeluk agama yang lain,” ucapnya.

Supriyanto Abdi mengatakan, perubahan artikulasi dan ekspresi keberagamaan di tengah masyarakat seakan menunjukkan perubahan wajah beragama di Indonesia. Dalam beberapa waktu terakhir ini, ada fermentasi otoritas keagamaan yang diakibatkan perbuahan lanskap sosial politik. Fermentasi otoritas keagamaan kemudian semakin diperuntukkan dalam kontektasi tafsir agama yang semakin tajam di ruang maya (media sosial). “Saya kira itu menyadarkan kita bahwa, moderasi beragama adalah satu jalan, satu arah yang memang harus kita tempuh,” ujarnya.

Ia menyayangkan di dalam moderasi beragama, setidaknya harus mengembangkan sebuah desain pembelajaran atau pendidikan keagamaan yang dapat mengembangkan dan memperkuat multiple literacy atau multi literacy guna memperluas cara pandang. Pentingnya mengembangkan literasi keberagamaan dan literasi kemanusiaan digunakan untuk melihat agama secara lebih dalam dan lebih kaya dari berbagai macam literatur keislaman.

“Seharusnya dalam konteks perguruan tinggi agama, diajarkan atau diajak untuk bertemu dengan agama-agama yang lain secara intelektual, secara akademik, belajar pengetahuan dasar tentang agama-agama, agar muncul sikap-sikap yang lebih apresiatif terhadap perbedaan literatur keagamaan, kekayaan tafsir keagamaan. Saya kira aspek kemanusiaan juga penting karena merupakan penguatan pada aspek kemanusiaan,” jelas Supriyanto Abdi .

Sementara Tabita Kartika dalam paparannya mengemukakan hasil penelitiannya tentang dinamika pendidikan agama, terdiri dari tiga unsur yaitu dogma, etika dan identitas. Dan etika adalah hasil yang paling kuat, isu-isu keagamaan masa kini adalah hal yang paling banyak dibahas di dalam pendidikan agama. Sedikit sekali unsur dogma yang diberikan pada lingkungan yang sangat homogen. Bagi sekolah yang berafiliasi, agama lebih menekankan etika bagaimana kehidupan bersama ditengah masyarakat.

“Menurut saya pendidikan agama yang inklusif dan moderat itu harus mencangkup empat hal yaitu menonjolkan pendidikan multikultural, theologi agama-agama, pendidikan agama masing-masing, perseta didik dari Generasi Z. Empat hal ini haru dipertimbangan, didialogkan bersama supaya menghasilkan pendidikan agama yang inklusif dan moderat,” ucapnya. (HA/RS)