Psikologi Islam Menjawab Perilaku LGBT
Kecintaan terhadap dunia yang berlebihan merupakan sumber dari kegelisahan dan kesedihan yang dapat berujung pada penyakit hati. Hal tersebut dikarenakan kebahagiaan manusia di dunia cenderung diukur dengan materi. Salah satu isu yang sedang hangat saat ini berkaitan dengan kesehatan mental manusia ialah perilaku Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT).
Untuk membahas isu tersebut, Ikatan Mahasiswa Muslim Psikologi (IMAMUPSI) Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan Kajian Rutin dengan tema “Mengenal Akar Gangguan Psikologis dengan Terapi Taubat (Isu LGBT)”. Kajian yang digelar pada Kamis (22/3) di Gedung FPSB UII ini menghadirkan Dr. Phil. Qorrotul’uyun. S. Psi,. M. Psi. sebagai pemateri.
Pada kajian tersebut, Qorrotul’uyun menjelaskan mengenai penyebab terjadinya gangguan psikologis hingga berujung pada perilaku LGBT. Pertama, sejak tahun 1970 LGBT dihapuskan dari kategori gangguan kejiwaan. Dengan demikian, perilaku LGBT oleh sebagian orang dianggap bukan merupakan gangguan kejiwaan.
Terdapat dua tolak ukur yang dapat digunakan untuk melihat fenomena ini. Pertama tolak ukur barat yang menganggap LGBT bukan gangguan kejiwaan karena dalam aktifitasnya terjalin hubungan baik sesama manusia. Sementara dalam tolak ukur Islam, perilaku LGBT dikategorikan sebagai perilaku yang melanggar aturan Allah SWT. Manusia yang sehat mentalnya ialah manusia yang melakukan hubungan dengan Allah atau hasbuminallah dan juga hubungan dengan manusia atau Hasbuminanah.
“Jiwa manusia diciptakan Allah dengan dua kecendrungan yaitu baik dan buruk. Malaikat bertugas untuk mendorong serta menjaga keimanan manusia, sehingga manusia memilih untuk berteman dengan malaikat atau setan,” ungkap Qorrotul’uyun.
Di dalam psikologi pembahasan hati terbagi tiga yaitu hati yang mati, hati yang sakit, dan hati yang sehat. Hati yang mati dimiliki manusia ketika manusia merasa senang melakukan tindakan maksiat, sementara hati yang sakit adalah ketika manusia merasa ragu terhadap sesuatu, sementara hati yang sehat dimiliki manusia yang beriman yang yakin kepada Allah dan melakukan kebaikan.
“Ketika seseorang semakin mendekatkan diri kepada Allah, maka akan berpengaruh terhadap akhlaknya yang semakin baik, karena sesungguhnya yang dapat mengubah hati hanyalah Allah,” Jelas Qorrotul’uyun.
Terkait dengan perilaku LGBT sendiri, salah satu peserta kajian, Iswan Saputro berpendapat akar permasalahannya terletak pada disfungsi dalam keluarga. “Khususnya sejak usia dini saat anak kehilangan sosok orang tua baik karena perceraian maupun kematian, sehingga anak menjadi korban dari pola asuh yang salah. Saat dewasa anak akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang tidak ia peroleh di masa kecil,” pungkasnya.
Proses penyembuhan perilaku LGBT secara individu dirasa kurang efektif karena individu cenderung melakukan pembenaran terhadap apa yang ia yakini. “Metode terapi penyembuhan LGBT dengan pendekatan berbasis kelompok akan lebih efektif karena masalah yang terjadi di individu terkadang juga dipengaruhi lingkungannya. Saat individu merasa ada orang lain yang juga memiliki masalah yang sama maka motivasi untuk dapat berubah cenderung lebih besar,” ungkap Iswan. (RR/ESP)