PSHK UII Gelar FGD Pemantauan dan Evaluasi Putusan MK
Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) bekerja sama dengan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (RI) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) mengangkat tema “Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2024” pada Senin-Selasa (18-19/11) di Gedung Fakultas Hukum UII. Acara ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi dan dampak putusan MK terhadap pemangku kepentingan serta warga negara.
Turut hadir narasumber utama sekaligus Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) FH UII Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U., Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Dr. Fajar Laksono, S.Sos., M.H., Dewan Penasihat PSHK UII, Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., Direktur PSHK UII, Dian Kus Pratiwi, S.H., M.H., jajaran sivitas akademika UII, peneliti, praktisi, ASN Kementerian, Lembaga Ormas, Lembaga Swadaya Masyarakat serta para mahasiswa UII.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan & Alumni, Dr. Drs. Rohidin, S.H., M.Ag., dalam sambutannya menyampaikan pentingnya kegiatan ini untuk menggali sejauh mana putusan MK telah ditaati dan ditindaklanjuti. Oleh karena itu, beliau menilai penting untuk mengadakan FGD guna pemantauan dan evaluasi atas putusan MK.
“Adapun FGD ini dilaksanakan harapannya untuk mengetahui sejauh mana putusan MK dilaksanakan dan ditindaklanjuti di level implementasi baik dalam aspek tindak lanjut melalui penyusunan peraturan perundang-undangan maupun aspek implikasi serta dampak bagi pemangku kepentingan dan atau warga negara seiring dengan hak konstitusional yang dipulihkan melalui putusan MK,” ujarnya.
Rohidin juga berharap agar acara ini mampu merumuskan kesimpulan serta hasil yang bermanfaat dalam melindungi hak konstitusional warga negara yang terpengaruh oleh Keputusan MK.
“Semoga acara ini dapat menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi yang positif bagi perlindungan hak konstitusional warga negara yang terdampak atas putusan MK serta menghasilkan rekomendasi rekomendasi tindak lanjutnya oleh para pemangku kepentingan,” tutup Dr. Rohidin.
Acara secara resmi dibuka oleh Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Dr. Fajar Laksono, S.Sos., M.H., yang menyoroti kompleksitas implementasi putusan MK khususnya pada evaluasi pelaksanaannya.
Dr. Fajar Laksono juga menegaskan bahwa tahap paling kompleks dalam penegakan konstitusi adalah implementasi putusan MK. Wewenang MK setelah selesai memutus perkara dan tanggung jawab pelaksanaan putusan berada di lembaga pembentuk undang-undang atau pembuat regulasi. Karena itu, penting bagi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK untuk memastikan serta memantau bagaimana putusan tersebut dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait.
Sebagai keynote speaker, Prof. Mahfud memberikan pandangan filosofis mengenai peran MK. Ia menuturkan bahwa MK dibentuk untuk mengadili undang-undang sehingga disebut dengan negative legistalure.
“Negative legislature itu artinya ya legislasi negatif. kalau parlemen atau DPR itu positive legislature kalau menyatakan ini harus dilakukan, MK menyatakan ini harus batal. ini membuat, ini membatalkan kalau salah. sehingga semua berjalan di atas konstitusi,” ungkap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM RI Periode 2019-2024.
Prof. Mahfud juga menegaskan kekuatan hukum berdasarkan Keputusan MK itu mengikat dan tidak bisa diganggu gugat. Selain itu, beliau juga menunjukkan peran MK yang kuat sebagai penyeimbang dalam sistem ketatanegaraan.
“Putusan pengadilan itu ikut putusan MK. Meskipun undang-undangnya belum diubah, tapi karena negative legislature jadilah keputusannya berlaku. Banyak putusan-putusan pengadilan, keputusan birokrasi yang menyebut di dasaran putusan mahkamah konstitusi nomor sekian. Jadi sudah kuat mahkamah konstitusi sebagai penyeimbang atau pelaku checks and balances di dalam ketatanegaraan kita,” tandas Prof. Mahfud.
Di akhir sesi, Prof. Mahfud mengajak untuk bekerja sama dalam memperkuat MK, yang juga merupakan produk reformasi yang harus dipertahankan.
“Mari kita bangun MK ini untuk semakin kuat kedepannya. MK inilah lembaga yang merupakan putra kandung atau anak kandung reformasi yang harus kita jaga bersama sama, kita kawal eksistensinya. Boleh jadi suatu saat kita tidak setuju menganggap putusan MK itu jelek ya kita kritik sebagai pandangan akademik tetapi tidak boleh menolak putusannya. Dalil dan keputusan hakim ya itu sudah langsung mengikat. Hukmu hakim yarfaul khilaf,” pungkas Guru Besar Hukum Tata Negara UII ini.
Kegiatan ini dilanjutkan dengan FGD yang mengkaji empat putusan utama MK, yaitu pertama, putusan No 93 Tahun 2022 terkait pemaknaan ulang konsepsi dungu, sakit otak atau mata gelap. Kedua, putusan No 32 Tahun 2020 berkaitan dengan pengaturan usaha perasuransian sebagai badan hukum usaha bersama berdasarkan undang-undang. Ketiga, No 35 Tahun 2023 tentang pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya serta larangan penambangan mineral pada pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Keempat, putusan No 84 Tahun 2023 yang berkaitan dengan larangan pengelola tempat perdagangan dan atau platform layanan digital membiarkan penjualan penayangan dan atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta dan atau hak terkait di tempat perdagangan dan atau layanan digital. (AT/AHR)