PSHK FH UII Luncurkan Buku Daya Lenting Konstitusi
Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menyelenggarakan acara Peluncuran sekaligus Bedah Buku berjudul Daya Lenting Konstitusi: Teori, Konsep, dan Praktiknya. Acara ini berlangsung di Ruang Stage Room Lt. 3 Gedung FH UII pada Senin, (26/12).
Buku tersebut merupakan karya yang ditulis oleh para peneliti PSHK FH UII, digagas sejak tahun 2021 hingga ditulis dan terbit pada bulan November 2022. Ada sekitar 6 aspek isu konstitusi krusial yang dikaji dan diteliti dalam penulisan buku ini, yaitu: aspek kekuasaan pemerintahan, aspek pemerintahan daerah, desa, dan kesatuan masyarakat hukum adat, aspek lembaga legislatif dan pembentukan peraturan perundang-undangan, aspek pemilihan umum dan partai politik, aspek kekuasaan kehakiman, serta aspek hak asasi manusia.
Dian Kus Pratiwi, S.H., M.H. selaku Direktur PSHK FH UII dalam sambutannya menyampaikan bahwa terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan oleh PSHK FH UII sepanjang tahun 2022, yang terdiri dari beberapa kegiatan riset dan kajian, penyampaian policy brief, sikap akademik, kanal edukasi yang dipublikasikan melalui youtube dan Instagram, serta beberapa kegiatan lain yang dilakukan berdasarkan Kerjasama dengan Pemerintah Daerah atau lembaga negara.
Selanjutnya, Dekan FH UII, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum. menyampaikan ucapan selamat serta apresiasi kepada para peneliti di PSHK FH UII. “PSHK FH UII sangat sangat giat dan aktif dalam kegiatan-kegiatan akademik, dan ini pastinya sangat berkontribusi baik bagi FH UII maupun masyarakat secara luas,” ujarnya.
Menurut Budi Agus, peluncuran buku Daya Lenting Konstitusi ini merupakan capaian prestasi yang luar biasa di tahun 2022 ini. Buku yang tebalnya hamper 500 halaman ini, harapannya dapat memperkaya khazanah keilmuan di bidang hukum konstitusi. Lebih dari itu, ia juga berharap buku Daya Lenting Konstitusi tidak hanya tersedia secara cetak, namun juga dapat diakses secara e-book atau audio book.
Pembedah pertama Andy Omara, S.H., M.Pub & Int.Law., Ph.D. sekaligus Dosen FH UGM mengatakan bahwa daya lenting konstitusi merupakan kemampuan sebuah konstitusi untuk mengakomodasi/beradaptasi dengan dinamika/perubahan kondisi faktual yang terjadi dari waktu ke waktu. Menurutnya, daya lenting konstitusi merupakan hal yang penting untuk dapat menjaga konstitusi bertahan dalam waktu yang lama, mampu beradaptasi pada perubahan, dan menjamin stabilitas politik.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi kelentingan konstitusi, yaitu pertama, reakdisonal yaitu bagaimana norma yang ada dalam konstitusi ditulis secara abstrak atau jelas. Apabila konstitusi ditulis terlalu abstrak dan umum, maka interpretasi atas ketentuan hukumnya menjadi sangat relatif. Sebaliknya, apabila konstitusi ditulis dengan konkrit dan jelas, akan menjadikan daya lentingnya menjadi semakin kecil.
Kedua, penafsir undang-undang yaitu aktor yang membaca, menafsir, dan menginterpretasi konstitusi, baik pemerintah secara umum, presiden dan parlemen, pembentuk undang-undang, atau badan peradilan seperti MK yang berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945).
Selanjutnya, Asisten Ahli Hakim Konstitusi, Mohammad Mahrus Ali, S.H., M.H. mengatakan bahwa buku daya lenting konstitusi ini merupakan buku yang dapat mengevaluasi adaptivitas konstitusi terhadap problematika ketatanegaraan kontemporer. Ada dua hal menarik yang dikaji dalam buku ini, yaitu: UUD NRI 1945 tidak mengatur secara rinci dan rigid perihal pembentukan undang-undang, hanya ada Pasal 22A yang mendelegasikan kewenangan pembentukan undang-undang, metode pembentukan undang-undang buka persoalan konstitusionalitas, persoalan berkaitan dengan metode open legal policy, dan 2 hal penting yang diatur oleh konstitusi, terkait aspek formil (tahapan dan partisipasi publik) dan aspek materiil (materi,muatan perundang-undangan dari sisi filosofis, asas, dan norma).
Adapun, beberapa masukan terhadap buku daya lenting konstitusi ini, menurutnya ada 3 hal, yaitu: perlu adanya series buku yakni seri-seri buku berikutnya dengan focus pada tema-tema tertentu, perlu adanya pendalaman isu tematik dengan pendekatan teoritis-praksis yang lebih komprehensif, dan perlu adanya diseminasi buku untuk menilai tingkat keterbacaan, ketersebaran buku secara massif dalam berbagai media/forum diskusi.
Pembedah terakhir, Guru Besar HTN FH UII, Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. menyampaikan bahwa dalam penulisan buku ini diperlukan tim editor untuk menyelaraskan naras dan bahasa yang digunkana oleh masing-masing penulis.
“Ini buku yang bagus, temanya menarik, tapi karena ditulis banyak orang antar babnya bahasanya beda-beda. Itu kelemahan buku yang ditulis bersama-sama itu kayak gitu,” ujarnya.
Menurutnya, dalam dua bab yakni bab 2 dan bab 3 dalam buku ini, terdapat penggunaan kata a quo yang tidak tepat. Kata a quo seharusnya cukup menggunakan istilah tersebut, karena ini akan membuat pembaca bingung ketika tidak ada terminologi yang menjelaskan kata a quo dalam buku ini. Lebih lanjut, Ni’matul Huda menyoroti terkait dengan penulisan komisi negara independen yang termuat dalam bab 2 buku ini.
Menurutnya, penulisan terkait dengan komisi negara sebaiknya dikeluarkan saja menjadi satu bab tersendiri. Pasalnya, hal ini membuat alur berpikir yang lompat terlalu jauh dalam membahas aspek kekuasaan pemerintahan. Selain itu, perlu adanya kajian yang membahas terkait dengan kewenangan wakil presiden, wakil menteri dan kepala daerah yang merupakan wakil pemerintah pusat yang ada di daerah.
Selanjutnya, berkaitan dengan kekuasaan pemerintah daerah saat ini, Ni’matul Huda menjelaskan bahwa Tindakan pemerintah untuk meletakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan bagian dari pemerintah daerah itu bertentangan dengan konstitusi. Hal ini dikarenakan dalam Pasal 18 UUD NRI 1945 jelas disebut bahwa di setiap daerah memiliki DPRD. Namun, pemerintah kemudian melakukan reduksi di UU yang menempatkan DPRD merupakan bagian dari pemerintah daerah, sehingga perda dinyatakan bukan produk legislasi melainkan produk eksekutif.
Selain itu, berkaitan dengan pembatalan peraturan daerah (Perda) yang dilakukan oleh Menteri, hal ini menurutnya juga bukan suatu hal yang dapat dibenarkan. “Perda itu dijamin dalam Pasal 18, tapi masa yang membatalkan Menteri. Menteri itu hanya pembantu, nggak boleh, pembantu presiden,” pungkasnya. (EDN/ESP)