Persiapan Perang Ghazwah Mut’ah
Ustadz Sulaiman Rasyid, S.T. kembali dihadirkan dalam kajian rutin bersama Takmir Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia (UII) pada Kamis (13/8). Kajian yang bertemakan The Greatest War: Ghazwah Mut’ah ini dilaksanakan secara daring. Dalam kajiannya, Ustadz Sulaiman Rasyid menyampaikan peperangan yang terjadi pada bulan Jumadil ‘Ula di musim panas tahun ke-18 Hijriah di Mu’tah, yakni sebuah desa di perbatasan Syam, yang sekarang bernama Kirk. Jarak antara desa tersebut dengan Mu’tah adalah 1.100 km.
Pemicu peperangan adalah terbunuhnya Al Harits bin Umair al-Azdi, utusan Rasulullah Saw kepada Raja Bashrah, Syurahbil bin ‘Amr al-Ghassani untuk mengirim surat. Namun, Syurahbil menolak surat tersebut dan membunuh Harits. Padahal dalam perjanjian perang dilarang membunuh utusan, termasuk di sini adalah pengirim surat, konselar, dan sebagainya. “Jika utusan dibunuh, tandanya mengajak perang,” ucap Ustadz Sulaiman Rasyid.
Mendengar kabar tersebut, Rasulullah Saw langsung menyerukan kaum muslimin pergi ke Syam. Pasukan muslim berjumlah tiga ribu orang, tanpa Rasulullah Saw. Dengan demikian, perang ini bukan dinamakan ghazwah, melainkan sariyah. “Perang dibagi dua, Sariyah perang tanpa Rasul berjumlah kurang dari 100 pasukan dan perang Ghazwah yang berjumlah lebih dari 100 pasukan termasuk Rasul. Sebab perang ini lebih dari 100 maka dinamakan Ghazwah walaupun tanpa Rasul,” jelas Ustadz Sulaiman.
Dalam persiapan pemberangkatan, Rasulullah Saw berpesan kepada pasukan, “Yang bertindak sebagai Amir (panglima perang) adalah Zaid bin Haritsah. Jika Zaid gugur atau terluka, Ja’far bin Abu Thalib penggantinya. Bila Ja’far gugur atau terluka, Abdullah bin Rawahah penggantinya. Jika Abdullah bin Rawahah gugur atau terluka, hendaklah kaum Muslimin memilih penggantinya.”
Rasulullah Saw juga berpesan kepada pasukan agar terus meminta pertolongan Allah SWT dan selalu mengedepankan pesan damai untuk mengikuti jalan kebenaran.
Ustadz Sulaiman Rasyid menyatakan alasan Rasulullah Saw mengirim 3.000 pasukan, sebab beliau sudah merasakan bahwa perang tersebut akan menjadi perang besar. Dugaan Rasulullah Saw sangatlah tepat, sebab Heraklius mengerahkan lebih dari 100.000 tentara Romawi, sedangkan Syurahbil bin Amr mengerahkan 100.000 tentara yang terdiri atas kabilah Lakham, Judzan, Qain, dan Bahra’. “Bayangkan saja, 200.000 lawan 3.000. Dari segi jumlah personil dan senjata, kekuatan musuh jauh lebih besar dari kekuatan kaum Muslimin,” sebut Ustadz Sulaiman Rasyid.
Sedangkan alasan Rasulullah Saw tidak bergabung di peperangan menurut kisahnya oleh Ustadz Sulaiman Rasyid adalah sebab Rasulullah Saw memiliki kebutuhan yang lebih penting, yakni mengurusi kebaikan umat muslim, sebab kemaslahatan untuk mengurusi kebaikan orang-orang muslim. Selain itu, para sahabat tidak ridho kalau Rasulullah berperang namun dirinya tidak. “Sahabat mencintai Rasulullah melebihi cinta kepada dirinya sendiri,” ungkap Ustadz Sulaiman Rasyid.
Adapun sahabat yang tidak turut serta dalam peperangan dalam sebutan Ustadz Sulaiman Rasyid adalah Ali ibn Abi Thalib karena diminta untuk menjaga para wanita, anak-anak, dan orang-orang Madinah yang tinggal. Terdapat pula Umar bin Khatab, abu Hurairah, dan beberapa sahabat lain yang tidak ikut berperang karena sedang menuntut ilmu, mengurusi orang tua, dan lain sebagainya. “Landasan nabi ikut dan tidak ikut adalah seling-selingan, misal Khaibar berangkat, mu’tah tidak. Selingannya bisa berangkat tidak lalu berangkat atau berangkat dua kali, lalu tidak dua kali,” jelas Ustadz Sulaiman Rasyid.
Ustadz Sulaiman Rasyid menyatakan keutamaan dalam persiapan perang Mu’tah terdiri atas keberanian Rasulullah Saw memberangkatkan pasukannya berjumlah 3.000 tanpa dirinya, menunjuk tiga panglima peperangan sekaligus padahal biasanya hanya ditunjuk satu panglima, menunjuk mantan budak Zaid bin Haritsah sebagai panglima pertama dan sepupu Rasul Ja’far bin Abu Thalib sebagai panglima kedua, penyebutan Zaid dalam Q.S Al-Ahzab ayat 37.
Ja’far merasa tidak yakin akan kekuatan Zaid sekaligus tidak terima dirinya menjadi panglima kedua, maka ia mendatangi Rasulullah. Namun, dalam kajiannya Ustadz Sulaiman Rasyid mengungkapkan bahwa alasan Rasulullah menunjuk Zaid sebagai panglima utama sebab dirinya pernah lima kali menjadi panglima syariah dalam peperangan. “Panglima syariah itu memimpin pasukan kecil, dari lima itu Zaid pernah memimpin perang menuju arah utara sedangkan Mu’tah adalah perang ke utara,” kata Ustadz Sulaiman Rasyid.
Ustadz Sulaiman Rasyid menyatakan hal ini sebagai petunjuk bahwa orang yang memimpin belum tentu lebih baik dari yang dipimpin. Keutamaan persiapan perang Mut’ah lainnya adalah ikut sertanya Khalid bin Walid yang baru masuk Islam pada tiga bulan lalu di bulan Safar tahun 8 H pasca pernah Khaibar.
Di akhir kajian, Ustadz Sulaiman Rasyid berpesan kepada jamaah kajian untuk selalu mengecek hatinya, apakah masih bersih atau sudah mulai ternoda. “Hati yang bersih akan gampang terenyuh dan tersadarkan dengan lantunan ayat Al-Qur’an. Sepatutnya ia bersyukur. Jika mendengar lantunan Al-Qur’an biasa saja, coba carilah jiwa asli kalian. Bukan hanya terenyuh waktu menonton Drakor atau mendengar musik saja,” tutup Ustadz Sulaiman Rasyid. (SF/RS)