Perlukah Pemerintah RI Melakukan Impor Beras?
Adanya polemik terkait impor beras oleh pemerintah pada masa pandemi dan masa panen beras di Indonesia ini pada akhirnya menuai tanggapan dari Presiden Joko Widodo dengan pernyataan bahwa pemerintah tidak akan melakukan impor beras hingga Juni 2021. Menilik dari situasi ini, Dosen Fakultas Hukum UGM Dr. Richo Andi Wibowo, S.H., LL.M dalam webinar online yang diselenggaarakan LKBH Fakultas Hukum UII dengan tema “Menimbang Urgensi Impor Beras Pemerintah Republik Indonesia” pada Kamis (2/4), memaparkan kronologi isu terkait impor beras tersebut.
Disampaikan diawali dari adanya pandemi Covid-19 yang menyebabkan negara menyiapkan diri, terutama dalam hal pangan. Indonesia sendiri termasuk negara yang pada level moderat, negara yang dianggap masih aman terkait kesediaan beras, namun memiliki potensi sebagai negara yang bisa kekurangan beras. Data inilah yang menurut Richo kemudian bisa dijadikan pijakan untuk melakukan impor beras oleh pejabat pemerintah.
Di sisi lain, ada perbedaan pernyataan dari para pejabat pemerintah terkait stok beras di Indonesia. Airlangga (Menko Ekonomi) mengumumkan persediaan beras di Indonesia masih sekitar 1-1,5 juta ton, Kabulog Budi Waseso menyatakan ada 883 ribu ton beras ditambah sisa impor tahun 2018 ada 275 ribu ton beras di Indonesia, dan Mentan SYL mengatakan stok beras Januari-Maret 2021 24,9 juta ton ditambah 7,38 ton beras dari stok tahun 2019, serta untuk perkiraan kebutuhan beras sampai Mei 2021 adalah 12,3 juta ton, sehingga akan surplus 12,6 juta ton beras.
Richo menyatakan ada dua dugaan terkait kebijakan impor beras ini dari Pemerintah. Pertama, kebijakan impor beras ini bukan karna kebutuhan, tapi karena didorong oleh importer beras. “Hal ini karena kebijakan terkait impor beras oleh Kemendag ini terkesan diam-diam, seandainya saja Thailand tidak bersuara mengatakan bahwa Indonesia akan mengimpor beras dari negaranya, mungkin kita tidak akan tahu,” ujarnya.
Kedua, 1) Kemendag tidak memiliki kesatuan data, dikarenakan tidak ada data pasti terkait estimasi beras di Indonesia. 2) Kemendag tidak menyadari data di Bulog (Perusahaan Umum milik negara berubah di bidang logistic pangan) berubah. 3) Kemendag tidak menyadari produksi beras dalam negeri meningkat hal ini sesuai dengan data BPS (Badan Pusat Statistik). 4) Tidak mengetahui bahwa konsumsi beras masyarakat menurun berdasarkan data BPS.
Dengan adanya polemik kebijakan ini, menurut Richo menunjukkan bahwa adanya inkoherensi kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Contohnya saja, saat ini yang sangat dibanggakan adalah pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol dan bendungan, namun disisi lain hutan-hutan terus digunduli, sehingga menyebabkan air tidak mempunyai daerah resapan yang cukup. “Begitupun juga dengan kebijakan impor beras ini yang katanya untuk menyejahterkan masyarakat, disisi lain Indonesia sedang masa panen raya yang mana dengan dibukanya keran impor ini akan merugikan petani,” tambahnya.
Ketua Lembaga Ombudsman DIY Dr. Suryawan Raharjo, S.H., LL.M. mengatakan menurut ketentuan Pasal 19 UU No 22/2019 alih fungsi lahan terhadap pertanian tidak diperbolehkan kecuali untuk kepentingan umum, dan alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan umum tetap tidak diperbolehkan apabila lahan tersebut telah memiliki jaringan pengairan lengkap.
Suryawan mengatakan terkait klasifikasi kepemilikan lahan petani, mayoritas petani di DIY itu tidak memiliki lahan atau memiliki lahan hanya sedikit, sekitar setengah hektar. Setidaknya, ada tiga masalah pokok bagi petani: 1) regulasi, terkait kebijakan pemerintah terhadap pertanian, 2) sosial ekonomi, terkait alih fungsi lahan pertanian, 3) polotik hukum pertanian, terkait isu swasembada pangan.
Menurut Suryawan, jika pemerintah ingin mengakkan kedaulatan pangan, ada tujuh prasyarat utama yang harus dipenuhi. 1) Pembaruan agraria, 2) Hak akses rakyat terhadap pangan, 3) penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan, 4) pangan untuk pangan, bukan hanya sekedar komoditas yang diperjualbelikan, 5) pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi, 6) melarang penggunaan pangan sebagai senjata, 7) pemberian akses ke petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian.
“Petani kecil disini maksudnya perlu adanya kelompok-kelompok pertanian, yang jauh dari kepentingan politik dan memang bertujuan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan petani, karena bagi petani sendiri itu mereka sudah repot dengan kebutuhan dari penghasilannya yang kecil tersebut,” tandasnya. (EDN/RS)