Perkuat Nilai Alam dan Budaya Melalui Arsitektur
Program Studi (prodi)Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan kuliah umum (public lecture) dengan tema “Reverse Engineering: From Nature and Culture into Architecture.” Kuliah umum ini digelar pada Kamis (10/3) melalui platform Zoom Meeting dan disiarkan langsung di channel YouTube prodi Arsitektur UII.
Assist. Prof. Johanita Anggia Rini, Ph.D. selaku pembicara di kuliah umum tersebut menyampaikan perbedaan makna reverse engineering dalam konteks yang berbeda-beda. Dalam bidang Industri, ia menyampaikan bahwa reverse engineering merupakan sebuah proses untuk membongkar, mempelajari dan menduplikasikan sebuah objek yang sudah ada secara langsung dari objek tersebut, tanpa dibantu oleh data tertulis atau informasi-informasi lain (gambar, dokumen, model-model digital).
Dikemukakan Johanita, pada bidang computer science dan engineering, reverse engineering adalah sebuah proses menganalisa sistem untuk mengidentifikasi komponen-komponennya dan hubungan antara komponen-komponen tersebut.
“Dari 2 pengertian yang sudah jelaskan, dalam konteks arsitektur, bisa diartikan sebagai sebuah proses untuk memilih objek non-arsitektur tertentu yang bisa jadi adalah objek alami, atau fenomena alam, karya manusia, baik berupa seni, kerajinan atau karya arsitektur,” jelasnya.
“Lalu, kita harus mempelajari logika dan ide di dalam objek tersebut. Bukan hanya mengambil bentukan luarnya saja, lalu mengaplikasikan wawasan atau pengetahuan yang kita dapat dari mempelajari ide dan logika tersebut,” ungkap Johanita saat memaparkan materi via Zoom itu.
Ia juga menjelaskan terkait karya arsitektur dari sebuah kota di Amerika yakni gedung yang berbentuk keranjang. “Karena ada di sebuah kota produsen keranjang dan tampaknya orang-orang disana sangat bangga sebagai produsen keranjang yang ternama,” tutur Johanita
Reverse engineering pada takaran tektonika, struktur dan kinerja, merupakan hal yang diharapkan di reverse engineering ini. “Dalam konteks ini, tektonika bisa didefinisikan sebagai, bagaimana material dirakit dan diartikulasikan untuk menjadi sebuah objek, jadi bukan hanya materialnya sendiri itu apa, tapi bagaimana material itu digunakan,” ungkap Johanita
Contoh reverse engineering pada konteks tektonika adalah pada rumah Kuwera. Tokoh Arsitektur Indonesia (Y.B. Mangunwijaya). Rumah ini merupakan kumpulan dari eksplorasi-eksplorasi kreatif arsitektur yang dibuat oleh pemiliknya. Dalam pembuatan pintu gerbang di rumah Kuwera, ada dua jenis material yang berbeda; bilah bambu dan material yang benar-benar digunakan dalam arsitektur (lempengan logam dan batang logam).
Johanita menuturkan bahwa ketika mengambil inspirasi dari tektonika, entah dari karya seni atau kerajinan, ada beberapa kemungkinan yang dituju. Antaralain yakni untuk mendesain ekspresi visual atau tampilan yang mirip, memberikan pengarahan atau penghormatan kepada tradisi, filosofi, atau ideologi yang ada pada benda yang menjadi inspirasi, ingin menjadi kualitas-kualitas yang tidak tampak, dan kualitas fisik yang non-visual.
“Reverse engineering di tingkatan struktur, bisa disebut dengan kualitas fisik yang membuat sebuah objek bisa mempertahankan, bisa berdiri bentuknya, dan bisa menahan dorongan-dorongan atau gaya-gaya dari luar,” jelas Johanita.
Selain itu, Johanita menambahkan, reverse engineering dalam konteks kinerja bisa diartikan bagaimana sebuah objek bekerja untuk menghasilkan kualitas tertentu. Misalnya kenyamanan akustik, pertukaran udara, pencahayaan yang optimal dan kualitas-kualitas lainnya. Seperti, sietpinski forest: tree-canopy-insired fractal roof canopy. (LMF/RS)