Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Masa Pandemi
Pandemi Covid-19 telah menimbulkan dampak yang luar biasa bagi perguruan tinggi, baik dari segi akreditasi akademik maupun perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini juga dipandang sebagai realitas yang harus dihadapi dalam melakukan transisi masa-masa sulit untuk kembali membangun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menyikapi hal ini, program studi (Prodi) Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (HI UII) kembali menggelar Sarasehan Webinar Islam & the Pandemic pada Sabtu (27/2).
Sarasehan yang berkolaborasi dengan Lembaga Budaya Embun Kalimasada, Yayasan Badan Wakaf UII kali ini bertemakan “Islam Scientific Development and Innovations amid the Covid-19 Pandemic”. Sarasehan kali ini mendatangkan empat pembicara yaitu Prof. Dr. Olgun Cicek dari Siprus Utara, Prof. Dr. Boshra Arnout dari Mesir, Prof. Dr. Muhammad Mumtaz Ali dari Malaysia, dan Dr. Trias Setiawati M.Si, dari UII.
Olgun Cicek dalam pemaparannya menguraikan tiga fase transisi yang dijumpai di masa pandemi. Pertama, realitas baru yaitu adanya perubahan, kompleksitas, dan ketidakpastian yang menimbulkan reaksi spontanitas seperti menutup pembelajaran tatap muka dan memulai kelas online, serta menerka-nerka berapa lama pandemi akan berlangsung dan apa yang akan terjadi setelahnya. Kedua, fase normal baru atau yang kita kenal dengan istilah new normal. Evaluasi dan pemantauan terhadap sumber daya yang tersedia dilakukan di tahap ini. Dan yang terakhir, fase mempersiapkan dan membangun masa depan dengan melakukan adaptasi, kreativitas, dan digitalisasi yang berkelanjutan.
“Pandemi coronavirus telah menyebabkan masalah ekonomi, sosial, pendidikan, bahkan emosional dan psikologis. Itulah sebabnya para psikolog mencoba mengidentifikasi strategi yang membantu manusia untuk tekanan tersebut. Salah satu strategi penting adalah resilience (daya lenting),” papar Boshra Arnout yang juga seorang profesor konseling dan psikologi King Khalid University.
Daya lenting adalah sifat manusia yang diperoleh melalui pengalaman hidup. Semakin tinggi tingkat resiliensi maka semakin sedikit masalah kesehatan mental yang dialami oleh individu, seperti cemas, depresi, dan sebagainya. Arnout juga menyebutkan beberapa aktivitas yang dapat meningkatkan resiliensi, yaitu memiliki tidur yang cukup dan nyenyak, mempraktikkan kebiasaan keagamaan, memperkuat kesadaran mental dan spiritual, menjaga komunikasi dengan orang lain, melakukan olahraga dan makan makanan yang sehat, serta meminta bantuan profesional jika dibutuhkan.
Sedangkan Mumtaz Ali dalam kesempatannya menekankan perlunya memahami peran Islam dalam dunia sains modern. Allah Swt menjelaskan kepada manusia bahwa mereka harus bekerja, bergerak, dan berpikir berdasarkan ilmu. Begitu pula dengan firman Allah, “Beri mereka peringatan”. Menurutnya, Covid-19 menegaskan kembali pentingnya ilmu keislaman dan tuntutan akan pendekatan yang komprehensif dan holistik dalam sains dan teknologi yang tidak hanya melibatkan pandangan dunia tetapi juga nilai-nilai universal dan moral.
Disampaikan Mumtaz Ali, Al-Quran benar-benar terbentuk berdasarkan fakta sejarah, argumen rasional, bukti ilmiah, serta pendekatan kritis dan komparatif. Sehingga cara pandang Al-Quran tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dari perspektif Islam diperlukan untuk membentuk masa depan ilmu pengetahuan khususnya pada masa wabah ini.
Sementara Trias Setiawati memaparkan penelitiannya tentang wanita dan sains selama masa pandemi. Dalam hasil risetnya yang melibatkan empat dosen UII, ilmuwan dan akademisi wanita menghadapi beberapa kendala selama bekerja termasuk membagi waktu antara karir dan keluarga, ketidaksetaraan gender dalam bentuk marginalisasi, stereotip masyarakat, dan beban kerja ganda. Tetapi disisi lain, mereka bersikeras memberikan manfaat bagi masyarakat luas sehingga bernilai ibadah.
Terlebih di era pandemi, menurut Trias Setiawati, mereka tetap melakukan sesuatu yang relevan dengan bidangnya sekaligus melakukan urusan rumah tangga selama working from home. Oleh karena itu, Trias mengibaratkan akademisi wanita sebagai ‘yellow light from the ivory tower’, yang mana walau terpisah dari komunitas dan keramaian tetapi sangat tinggi dan terang. (MRS/RS)