Perguruan Tinggi Swasta, Kisahmu Kini
Salah satu tugas negara, sesuai amanah konstitusi, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahasa teknisnya, termasuk memberikan layanan pendidikan yang berkualitas dan merata untuk semua anak bangsa. Semua anak bangsa seharusnya mendapatkan peluang yang sama untuk mengakses pendidikan.
Ini adalah tugas peradaban. Tak ada satupun negara maju di muka bumi yang bangsanya tidak terdidik. Anak bangsa yang cerdas merupakan modal penting kemajuan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan, bahwa tangan negara tidak cukup untuk menjalankan tugasnya. Masyarakat yang tercerahkan pun memberikan uluran tangan, dengan memperluas jangkauan pendidikan, di semua tingkatan dan di segala penjuru. Bahkan, banyak di antaranya yang sudah berdiri sebelum Republik ini diproklamasikan. Semuanya didasarkan pada sebuah kesadaran yang melampaui zaman.
Karenanya, makin banyak anak bangsa yang terfasilitasi dan kian luas pojok Indonesia yang terlayani pendidikan. Tak terkecuali di ranah pendidikan tinggi. Ribuan perguruan tinggi swasta (PTS) yang bertumbuh di Bumi Pertiwi adalah bukti nyata. PTS telah membantu negara menjalankan amanah yang seharusnya diembannya.
Kehadiran PTS karenanya perlu disambut dengan gembira dan dilihat sebagai mitra negara. Pertanyaannya, apakah hal ini telah terjadi?
PTS di Mata Negara
Dalam dokumen dan banyak forum resmi, posisi PTS cukup terhormat: setara dengan perguruan tinggi negeri (PTN). Tetapi, dalam praktik di lapangan dan obrolan tidak resmi para petinggi di belakang panggung publik, kisahnya dapat berbeda. Perspektif ini tentu akan sangat mempengaruhi beragam kebijakan yang akan diambil.
Betul, semua PT harus mampu bersaing. Tidak ada yang menampik pendapat ini. Tetapi, pemahaman akan konteks yang beragam juga sangat penting. Indonesia bukan hanya Jakarta atau Pulau Jawa.
Selain itu, setiap kebijakan yang dibuat, tidak hanya untuk melayani PTN atau PTS yang sudah mapan, tetapi juga untuk PTS yang sedang berkembang yang cacahnya sangat banyak. Banyak dari mereka yang bahkan masih berjuang untuk menggaji para dosennya. Eit, jangan dulu bertanya soal kualitas kesejahteraan dosennya.
PTS yang sekarang mapan pun, sebagian besar berangkat dari PTS kecil. Hanya sedikit PTS yang lahir dalam keadaan bongsor.
Mungkin sebagian dari kita langsung berkomentar, “Mengapa PTS kecil tidak ditutup saja?”. Tidak sesederhana itu, Ferguso! Di setiap pendirian PTS, ada nilai-nilai yang mendasari. Tidak selalu berbau uang. Sebagaian digerakkan oleh tanggung sosial sebagai anak bangsa, karena tangan negara belum dapat menjangkau. Meski kita tidak bisa menutup mata, ada juga yang kapitalistik. Tetapi, cacahnya tidak banyak.
Saya personal masih ingat betul fragmen percakapan dengan beberapa pejabat di bidang pendidikan tinggi. Sebagian masih menjabat. Ketika saya sampaikan masalah di PTS yang memerlukan perhatian negara, seorang pejabat berujar, “Siapa yang menyuruh untuk mendirikan PTS”. Ketika saya sampaikan kritik terkait akreditasi, ada pejabat lain yang berkomentar: “Kan, tidak semua PTS harus unggul”. Mungkin pejabat yang mengucapkannya sudah lupa, tapi fragmen menyedihkan tersebut tidak mungkin saya hilangkan dari ingatan.
Inilah yang saya khawatirkan: PTS tidak masuk dalam radar setiap pembuat kebijakan karena bermula dari pandangan yang sumir terhadapnya. Pejabat adalah representasi negara.
Dukungan ke PTS
Saya mendengar teriakan banyak pimpinan PTS, baik yang tergabung di Aptisi maupun BKSPTIS. Ini jelas bukan teriakan untuk dikasihani oleh negara, tetapi justru mengingatkan negara untuk menjalankan tugasnya.
Jangan sampai, perspektif “kasihan” muncul dari benak para pejabat negara. Jika ini yang terjadi, saya khawatir, kebijakan yang diambil tidak sepenuh hati dan hanya menjadi katarsis tanpa ketulusan.
Tentu, PTS berterima kasih terhadap beberapa kebijakan yang lebih adil dan sensitif terhadap konteks yang beragam. Meski, sebagian kebijakan baru itu muncul setelah beragam kritik yang mengemuka.
Namun, sebagian teriakan PTS rasanya seperti dianggap angin lalu. Salah satunya terkait dengan admisi mahasiswa baru. Di masa kritis, akhir musim admisi seperti ini, banyak PTS yang mengeluhkan penurunan minat publik untuk mendaftar di PTS. Keluhan ini bahkan juga disampaikan oleh PTS mapan.
Mengapa ini terjadi? Sebabnya mungkin beragam. Namun, admisi mahasiswa baru di PTN (tidak hanya yang berada di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) menjadi salah satu sebabnya. Ini terkait dengan penambahan kuota yang fantastis, jadwal admisi yang selalu mundur, dan pembukaan jalur mandiri.
Alasan pembenarnya yang saya pernah dengar sayup-sayup adalah karena anggaran yang diberikan negara semakin kecil. Alasan serupa juga digunakan oleh PTN untuk membuka program studi yang siap menjadi “sapi perah”, seperti kedokteran, meski amanah awal negara kepada PTN tersebut bukan di ranah itu.
PTS dan APK PT
Saya pernah mendengar pada sebuah forum terbatas, dari 20% anggaran pendidikan yang diamanahkan oleh konstitusi, yang sampai pada sektor pendidikan tinggi hanya sekitar 1%. Jika saya salah dengar, mohon ada yang mengoreksi. Tetapi, jika ini valid, maka pengambil kebijakan di tingkat hulu, termasuk parlemen, perlu mencari solusi. Data proporsi alokasi dana yang terbatas itu untuk PTS pun tidak mudah didapatkan.
Jika alasan penurunan alokasi anggaran ini dibenarkan, maka kebijakan negara yang semakin “lepas tangan” kepada banyak PTN mungkin perlu dikaji ulang. Padahal, kebijakan yang sering dibingkai dengan “kemandirian PTN” ini menjadi salah satu program unggulan Kampus Merdeka.
Saya tidak tahu, seberapa kalis kebijakan negara dari beragam perspektif PTN yang sudah “disapih” ini. Saya tidak mungkin naif dan sangat sadar bahwa setiap lembaga mempunyai kepentingan yang diperjuangkan. Variabel ini tidak bisa diabaikan begitu saja dalam konteks relasi kuasa antara negara dan PTN. Tetapi, apapun alasannya, kepentingan publik tetap harus berada di posisi tertinggi.
Karena itulah, besar anggaran yang dikucurkan ke PT (PTN dan PTS) menjadi penting. Ini menjadi salah satu bukti perhatian negara untuk pendidikan tinggi.
Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Angka Partisipasi Kasar (APK) PT secara nasional 39,37%. Namun, ada versi lain. Badan Pusat Statistik menulis 31,16%. Itu pun dengan disparitas yang luar biasa. APK di Provinsi Yogyakarta mencapai 75,59%, tetapi di Kepulauan Bangka Belitung baru mencapai 14,85%. Itu pun sudah dengan bantuan PTS.
Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, APK nasional ini sangat rendah. APK PT Singapura melebihi 90%, Thailand mendekati 50%, dan Malaysia di atas 40%.
Indonesia masih mempunyai banyak pekerjaan rumah untuk dituntaskan. Untuk mengerjakannya memerlukan anggaran. Ribuan PTS, yang tersebar di segala penjuru negeri, sekali lagi, hadir untuk membantu negara.
Namun, kisah banyak PTS kini tidak seindah misi mulianya untuk berandil mencerdaskan kehidupan bangsa. Semoga negara segera mengambil tindakan nyata.
Tulisan ini telah tayang di Republika.id pada 19 September 2023.