Perempuan Di Tengah Pusaran Korupsi
Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII menyelenggarakan diskusi aktual bertemakan “Perempuan Di Tengah Pusaran Korupsi” dengan narasumber yaitu Titi Anggraini, S.H., M.H. (Dewan Pembina Perludem) dan Kurnia Ramadhana (Peneliti ICW) pada Sabtu (25/09).
Dalam paparannya, Titi Anggraini menyampaikan posisi Indonesia pada indeks kesenjangan gender global yang dirilis bulan Maret 2021 menempati peringkat 101 dari 156 negara yang diukur. Dalam konteks global, perempuan Indonesia menghadapi persoalan di sisi ekonomi, kesehatan, maupun pendidikan. Sedangkan di posisi parlemen dan politik, perempuan juga masuk dalam pusaran korupsi, meski sebagian kecil saja.
Dalam praktek demokrasi, perempuan tidak bisa ditinggalkan dalam proses tata kelola pemerintahan. Demokrasi Indonesia sekarang menunjukkan tren penurunan kinerja. Penurunan ini diperburuk dengan masih maraknya tindak pidana korupsi di kalangan elit politik.
Pada penguatan afirmasi berbasis kaderisasi, kebijakan afirmasi dalam pemilu mestinya tidak hanya berhenti pada level pencalonan minimal 30% perempuan dari daftar yang diajukan oleh partai politik. Afirmasi perlu hadir pada arena kampanye melalui bantuan dana negara untuk memfasilitasi kampanye perempuan melalui iklan di media massa cetak/elektronik dan alat peraga minimal 30% bagi caleg perempuan di setiap partai politik.
Dana negara untuk partai politik yang berhasil meraih kursi legislatif dan diperoleh secara rutin setiap tahunnya, minimal 30% dialokasikan untuk kegiatan pemberdayaan politik perempuan.
Sementara itu, Kurnia Ramadhana menjelaskan bahwa perlunya gerakan perlawanan korupsi yang berbasis gender dengan perempuan sebagai garda terdepan. Ia berpendapat masih cukup banyak kekeliruan memandang isu perempuan dan korupsi. Perempuan adalah salah satu korban yang paling berdampak dalam praktik korupsi.
Keterlibatan perempuan dan organisasi sipil sangat dibutuhkan jika melihat kondisi pemerintahan yang sangat tidak berpihak dan masih banyak yang perlu dibenahi. Indeks korupsi Indonesia, menunjukkan baik skor dan peringkat Indonesia anjlok dari 40 turun menjadi 37.
Ia optimis, organisasi yang dimonitori perempuan terbukti mampu selalu menjadi garda terdepan dalam memberantas korupsi serta memajukan demokrasi dan HAM. Persoalan korupsi tidak bisa diletakkan dengan isu gender, tapi individu yang tidak bisa memandang secara luas mengenai gender.
Manfaat keterlibatan perempuan dalam menggerakan anti korupsi yaitu menekan korupsi itu sendiri. Memberikan tempat pada perempuan dalam suatu jabatan tertentu yang bisa mengambil kebijakan akan ada kebijakan yang sensitif yang dilakukan dengan kebutuhan perempuan.
Kesetaraan gender dalam mengambil kebijakan khususnya mendukung pemberantasan korupsi harus digaungkan. Ada organisasi berbasis gender mendukung aktif gerakan anti korupsi dan dukungan berbagai pihak sangat diharapkan. Perempuan bukan menjadi pemicu terjadinya korupsi, melainkan menjadi korban dari praktik korupsi. Dengan membuat slot yang banyak akan membuat untuk mendudukan perempuan di posisi jabatan. Sangat kurang ideal meletakkan hanya gender semata. (FHC/ESP)