Perempuan dan Sains
Kegiatan tahunan Global Women’s Breakfast (GWB) yang diselenggarakan serentak di banyak belahan dunia oleh IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry) dan para mitranya selalu menarik, karena beberapa alasan. Pertama, meskipun diberi judul kasual, sarapan pagi, acaranya masih bersifat ilmiah. Mungkin GWB bisa kita semua sebut sarapan pagi ilmiah. Kedua, seperti namanya, acara ini digagas dan dikawal oleh para perempuan yang aktif di bidang sains, terutama kimia.
Salah satu Acara GWB2021 di Indonesia digelar oleh Jurusan Kimia, Universitas Islam Indonesia.
Saat ini, perempuan mewakili hampir separuh penduduk bumi. Data mutakhir yang dapat diakses berstempel waktu 2019, menunjukkan bahwa 49,6% populasi dunia adalah perempuan. Angka rasio jenis kelamin (sex ratio), perbandingan cacah laki-laki untuk setiap perempuan, adalah 1,01. Tentu, ada perbedaan untuk setiap negara. Kasus terekstrem adalah Djibouti dengan rasio jenis kelamin 0,83 (lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki) dan Qatar 3,39 (untuk setiap perempuan, terdapat 3,39 laki-laki).
Di Indonesia, menurut Sensus Penduduk 2020, rasio jenis kelaminnya adalah 1,02. Dari 270,2 juta jiwa, sebanyak 50,58% (136,66 juta jiwa) adalah laki-laki, dan sisanya (49,42%; 133,54 juta) adalah perempuan.
Rasio jenis kelamin untuk semua negara, termasuk Qatar, ketika bayi lahir mendekati 1,0 (antara 0,94 sampai 1,11). Namun, sejalan dengan kelompok umur, rasio jenis kelamin cenderung mengecil, alias semakin banyak perempuan, karena usia harapan hidup perempuan (75,6 tahun) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (70,8 tahun).
Meskipun demikian, beragam sumber menunjukkan bahwa perempuan tidak mempunyai akses yang serupa dengan mitranya, laki-laki. Perempuan dianggap terpinggirkan di banyak konteks, termasuk politik, ekonomi, dan sains, untuk menyebut beberapa saja. Sebagai contoh, data dari Institute for Statistics UNESCO pada 2019, rata-rata proporsi perempuan periset di seluruh dunia hanya 29,3%. Tentu, terdapat perbedaan antarkawasan, negara, dan disiplin.
Proporsi terbesar ditemukan di Asia Tengah (Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan), sebesar 48,2%. Yang menarik, proporsi perempuan periset di negara-negara Arab (41,5%) lebih tinggi dibandingkan, misalnya, dengan Eropa Tengah dan Timur (39,3%) dan Amerika Utara dan Eropa Barat (32,7%). Proporsi ini didasarkan pada cacah orang yang bekerja di bidang riset dan pengembangan (research and development).
Sayang data serupa untuk konteks Indonesia tidak tersedia. Tapi, mari, kita dekati dengan cara lain. Kita anggap perguruan tinggi adalah representasi lembaga ilmiah. Sampai akhir 2019, proporsi perempuan dosen di lebih dari 4.500 perguruan tinggi di Indonesia adalah 43,6%. Data dari Universitas Islam Indonesia memberikan angka serupa: 43,2%. Apakah ini bagus atau kurang bagus? Kita bisa diskusikan.
Terlepas dari beragam interpretasi yang muncul, nampaknya tidak sulit untuk bersepakat bahwa peran perempuan dalam pengembangan sains sangat penting dan tidak mungkin diabaikan. Angka ini juga mengindikasikan ada ruang akses yang serupa di pendidikan tinggi. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2019) mengkonfirmasi hal ini. Proporsi mahasiswa perempuan di Indonesia adalah 51,2%. Meski, lagi-lagi, sebarannya bisa beragam antarwilayah dan antardisiplin.
Ada temuan menarik yang ingin saya bagi di sini. Apakah nilai masyarakat mempengaruhi? Saya ambil data khusus dari Sumatera Barat, rumah suku Minangkabau yang menggunakan sistem matrilineal dalam masyarakatnya. Proporsi perempuan dosen di sana lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional, yaitu 54,11%. Dengan data ini, kita bisa berhipotesis bahwa sikap kita dalam memandang dan menempatkan perempuan, sangat mungkin mempunyai imbas besar dalam masyarakat. Tentu, riset yang lebih sistematis diperlukan untuk membuktikannya.
Sari sambutan pada Global Women’s Breakfast 2021 (GWB2021) yang diselenggarakan oleh Jurusan Kimia, Universitas Islam Indonesia, 9 Februari 2021.