,

Peran Umat Islam akan Kontroversi RUU HIP

Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang belum lama ini dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuai kritikan banyak pihak, tak terkecuali oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia. Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam Universitas Islam Indonesia (DPPAI UII) turut terpantik dengan menyelenggarakan webinar mengangkat tema Peran Umat Islam dalam Mengawal RUU HIP: Antara Ditunda atau Dibatalkan? pada Senin (6/7).

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan dan Alumni UII, Dr. Drs. Rohidin, S.H., M.Ag. dalam sambutannya mengatakan sudah banyak instansi atau perseorangan yang secara terang-terangan menolak rancangan UU HIP, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bahkan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab yang sedang berada di Arab Saudi turut mengomentari RUU ini. Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan maklumat menolak disahkannya RUU HIP karena dianggap memporakporandakan negara. Rancangan UU ini dapat menghadirkan aksi tolak yang lebih besar daripada Aksi 212 jika tidak dibatalkan.

Menurut Rohidin bentuk kritikan yang tersebar di media sudah sangat beragam, mulai dari argumentatif hingga asal-asalan. Ada yang berbentuk tulisan ilmiah hingga bentuk penolakan berbentuk meme. Pasal-pasal yang tercantum di rancangan undang-undang HIP dianggap masih ambigu. Pancasila menjadi norma negara maka setiap orang harus melewati konstitusi sehingga proses dan pelaksanaannya harus bersifat inklusif. Perspektif perseorangan atau kelompok harus mengalami substansiasi konstitusi dan UU itu milik bersama. “Kedudukan RUU ini dipertanyakan karena ada peraturan yang sama antara TAP MPR yang berada di atasnya,” tutur Rohidin.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed. dalam paparannya mengatakan pembentukan RUU HIP bermasalah karena dinilai menurunkan posisi Pancasila. Oleh sebab itu tidak heran jika menimbulkan kontroversi serta penolakan keras dari masyarakat. Pancasila menjadi sistem hukum tertinggi di Indonesia, namun jika RUU HIP ini disahkan maka akan membuat Pancasila memiliki kedudukan yang sama dengan Undang-Undang lainnya. Tidak adanya TAP MPRS No XXV tahun 1966 menjadi permasalahan yang serius dalam pembentukan RUU HIP.

Abdul Mu’ti menegaskan bahwa Muhammadiyah terus mengkaji dan menginventarisasi berbagai problematika yang ada dalam RUU HIP dengan menyiapkan tim jihad konstritusi. Menurutnya Pemerintah atau DPR sebaiknya menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang ini, sebab dalam pembentukan Undang-Undang haruslah menggunakan asas keterbukaan dengan melibatkan masyarakat dan disampaikan kepada publik untuk mendapat tanggapan. Undang-Undang disusun apabila atas perintah di atasnya dan ada peraturan dari undang-undang lain, perintah dari MK dan kebutuhan hukum dari masyarakat. “Persyaratan itu semua tidak ada dalam RUU HIP maka Muhammadiyah memandang ini tidak urgent atau bermasalah,” jelasnya.

Pasal VII dalam Bab III menurut Abdul Mu’ti menjadi salah satu pemicu kontroversi karena muatan materinya bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu bentuk penolakan keras dari masyarakat berupa anggapan rancangan undang-undang ini meredupsi peran agama dan seperti menurunkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Argumen yang politik atau historis seperti adanya kesengajaan dari kelompok tertentu untuk memunculkan kembali rumusan Pancasila oleh Soekarno. Lalu ada kesengajaan seperti memberikan angin kepada komunisme.

Konteks lain dapat menimbulkan stabilitas di masyarakat karena berpotensi membuka kembali perdebatan ideologi negara dan berdebatan lain yang menyertainya dalam konteks negara RI. “Di sini dapat pesan bahwa ada Pancasila yang belum melekat pada setiap orang karena ada kelompok yang ingin merubahnya. Kami menegaskan bahwa Pancasila adalah sesuai dengan Alinea 4 pembukaan UUD 45 yang ditetapkan pada tanggal 18 agustus 45,” tambahnya.

Di lain sisi Sekretaris Jenderal PBNU, Dr. Helmy Faishal Zaini, S.T., M.Si., mengatakan RUU HIP menjadi perdebatan yang tidak produktif sehingga menimbulkan pertentangan. Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum, maka tidak diperlukan lagi undang-undang yang menjadi legitimasi pengertian Pancasila itu sendiri. Melalui surat keterangan resmi, Pengurus Besar NU menolak RUU HIP dan mendesak DPR untuk menghentikan legislasi rancangan undang-undang ini. Sekretaris PBNU ini juga mengungkapkan bahwa KH. Achmad Shiddiq pernah berkata, “Pancasila dan Islam itu sejalan dan saling menunjang, keduanya tidak bertentangan dan tidak perlu dipertentangkan,” jelasnya.

Lebih lanjut, bahkan KH. Bisri Syansuri, Pendiri NU, pernah berkata bahwa, ‘sekarang saya sudah mengerti apa itu Pancasila. Sekarang bila ada orang Indonesia, orang Islam atau orang NU yang anti Pancasila berarti ia anti padaku’. Hal ini menandakan bahwa Pancasila merupakan ideologi bisa diterima oleh semua kalangan termasuk kalangan agamawan. “NU berkomitmen terhadap Pancasila, kami menegaskan bahwa Pancasila menjadi titik temu yang disepakati sebagai dasar negara dan hasil dari kesatuan proses sejak podato Bung Karno 1 Juni 1945,” tutupnya. (SF/RS)