Peran Kolaboratif Dibutuhkan dalam Penanganan Kesehatan Mental
Program Studi Farmasi Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar webinar bertema “Interprofessional Education (IPE) In Mental Health Care” yang diperuntukkan kepada calon Nakes dan Nakes baik praktisi maupun akademisi pada Minggu (14/11). Webinar ini dimaksudkan agar tercipta peran kolaboratif antar praktisi sehingga ekosistem layanan kesehatan mental di Indonesia berjalan efisien. Prof. Dr. apt. Yandi Syukri, S.Si., M.Si. selaku Ketua Jurusan Farmasi UII dalam sambutannya menyebut kolaborasi antar profesi di kesehatan sangat dibutuhkan. “Ke depan, era kita adalah era kolaborasi, di mana tentunya sangat dibutuhkan untuk membangun kerja sama sejak dari bangku pendidikan (kuliah),” terangnya.
Beralih pada pembicara pada sesi pertama adalah dr. Wikan Ardiningrum, M.Sc., Sp.K.J. yang saat ini sedang berdinas di RSJ. Grhasia Yogyakarta. dr. Wikan mempresentasikan peran psikiater dan praktik InterProfesional Collaboration (IPC) di layanan kesehatan jiwa. IPC sendiri adalah kolaborasi yang terjadi ketika para pekerja kesehatan dari berbagai latar belakang bekerja sama dengan pasien, keluarga, dan perawat hingga komunitas memberikan kualitas layanan kesehatan tertinggi di berbagai macam setting. “Jadi ada peran pasien dan keluarga di dalamnya. Tidak lagi hanya dokter yang menentukan, tetapi melibatkan harapan pasien dan keluarga”, terang dr. Wikan.
Banyak manfaat yang bisa di dapat dengan menerapkan kolaborasi berbasis IPC ini. dr. Wikan menjelaskan ada tiga garis besar manfaat praktik IPC. Pertama adalah untuk meningkatkan akses dan koordinasi dalam layanan kesehatan. Hal ini meliputi pendayagunaan klinik dan meningkatkan perawatan dan keamanan pasien. Kedua adalah menurunkan komplikasi pasien, kerugian selama rawat inap, konflik antar admisi rumah sakit, dan menurunkan angka kesalahan klinik. Terakhir adalah mendapat apresiasi pasien atas kepuasan layanan yang diberikan yang muaranya ada pada penghematan biaya.
Berlanjut pada pembicara kedua adalah Ns. Sutedjo, M.kep., SP. kep.J selaku dosen Jurusan Keperawatan dari Poltekkes Kemenkes Yogyakarta. Linear dengan narasumber pertama, Ns. Sutedjo membahas layanan kesehatan jiwa melalui praktik keperawatan yang kolaboratif. Ns. Sutedjo menyebut masalah kesehatan jiwa atau mental di Indonesia perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah. Kesehatan mental memerlukan layanan yang kolaboratif agar nantinya potensi kekambuhan pada pasien dapat di minimalkan.
“Ketika layanan kesehatan jiwa bisa dilaksanakan secara optimal, tentu harapannya semua penduduk Indonesia tak hanya sehat secara fisik tapi juga dapat sehat jiwa,” sebutnya. Ns. Sutedjo juga menjelaskan bahwa peran penyembuhan kesehatan jiwa tak hanya sekadar tanggung jawab tenaga ners. Lebih dari sekedar itu, perlu adanya peran kolaboratif dari para komunikator, edukator, advokat, konselor, hingga pimpinan dan peneliti dalam satu keterlibatan yang utuh.
Webinar dilanjutkan pada sesi kedua dengan mengundang dosen psikologi UII, Libbie Annatagia, S.Psi., M.Psi., Psikolog. Libbie dalam presentasinya membahas mengenai psikologi klinis dalam layanan kesehatan jiwa dan kolaborasi interprofesional. Dalam psikologi klinis, Libbie menyebut ada setidaknya tiga jenis kolaborasi interprofesional pada ranah setting pasien individu. Pertama adalah pasien psikotik yang berfokus pada asesmen psikologi dan psikoterapi. Penanganan psikotik hanya melibatkan pasikolog, dokter dan apoteker. Sedang, kolaborasi dengan penanganan lebih ekstra adalah pasien non psikotik.
Pasien non psikotik membutuhkan penanganan lebih di mana kasus-kasus yang sering dihadapi adalah gangguan kecemasan, mental dan perilaku. Satu tingkat lebih tinggi adalah pasien pasca kecelakaan. Penanganan ini membutuhkan aspek kolaboratif antara psikolog, dokter, apoteker, perawat hingga fisioterapis. Penanganan pada pasien kecelakaan memang lebih intens karena melibatkan sisi traumatis dari pasien itu sendiri.
Lebih lanjut, apt. Okky Puspitasari Sugiyanto,M.Sc. menyebut peran apoteker juga dibutuhkan dalam layanan kesehatan jiwa yang kolaboratif. Okky yang merupakan apoteker dari RSJ. Prof.Dr.Soerojo Magelang ini juga menyebut pengelolaan obat pada layanan kesehatan jiwa diatur secara khusus dalam farmasi klinik. Masalah yang sangat umum terjadi pada pasien dengan kesehatan jiwa adalah kekambuhan. “Sehingga farmasi klinik diberikan peranan khusus di sini, kita akan menyarankan untuk mengoptimalkan outcome terapi dan sebisa mungkin meminimalkan efek samping obat”, sebutnya.
Pembicara terakhir pada webinar IPE Farmasi UII adalah Dr. Hanna Morrissey dari University of Wolverhampton. Morrissey pada kesempatan tersebut menyampaikan materi tentang peranan apoteker dan praktik kolaboratif para tenaga kesehatan dalam pelayanan kesehatan jiwa di negara berkembang. Morrissey menyebut penyakit mental bukanlah kebalikan dari kesehatan mental. Mental illness adalah penyakit yang dapat di diagnosa karena mempengaruhi pikiran, emosi dan perilaku pasien. Untuk itu dalam proses penyembuhannya dibutuhkan penanganan khusus dari beragam konsentrasi kesehatan.
Morrissey juga menjelaskan bahwa tenaga spesialis kesehatan jiwa merupakan bagian yang penting dan dibutuhkan dalam penanganan mental yang kolaboratif. Ia juga mengapresiasi kinerja kolaborasi kefarmasian negara berkembang yang terus melaju meskipun masih ditemukan banyak kekurangan. “Pemangku kebijakan perlu untuk mempercepat akses pelayanan kesehatan lebih luas dan memberikan akses sebaik mungkin dalam membuat undang-undang,” terang Morrissey. Ia juga menambahkan agar komunikasi antar profesi dalam layanan kesehatan dapat berjalan berkesinambungan. (IAA/RS)