Peran Intelektual untuk Kemajuan Bangsa
Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai institusi pendidikan tinggi di tanah air begitu lekat dengan istilah intelektualisme. Cendekiawan UII diharapkan dapat menjadi sosok yang berintelek dan berperan dalam kemajuan bangsa.
Hal ini mendasari diadakannya kuliah umum bertema Intelektualisme untuk Kemajuan Bangsa bagi mahasiswa program profesi, magister, dan doktor di UII. Melalui forum ini diharapkan sivitas akademika UII dapat memahami lebih dalam tentang makna intelektualisme sehingga mampu berperan dalam kemajuan bangsa.
Kuliah umum berlangsung di Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. M. Sardjito, MD, MPH UII, Sabtu (1/12), dengan narasumber Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Hukum UII dan juga direktur pertama Pasca Sarjana UII (1996-2000).
UII mempunyai tujuan yang sama seperti bangsa Indonesia yakni mencetak intelektual atau cendekiawan bukan hanya sarjana. Karena sarjana dianggap sebagai potret penguasaan dalam bidang tertentu dan dengan skill dalam bidang dan tingkat tertentu. Sementara intelektual menggabungkan antara intelegensia kesarjanaan dan kemuliaan watak.
Prof. Mahfud MD mengistilahkannya seperti para koruptor di Lapas Suka Miskin. “Mereka orang berintelek, banyak lulusan S2 bahkan S3 tapi mereka tidak punya kemuliaan watak, makanya bisa korupsi,” tuturnya.
Prof. Mahfud MD mengartikan intelektualisme sebagai sikap ketaatan dan kesetiaan daya berpikir dan pencarian kebenaran ilmiah disertai sikap untuk berpihak kepada kebaikan umum. Cendekiawan mempunyai basis data ketika berbicara dan tidak bekerja dengan hoax. Selain itu juga harus jujur dalam melakukan segala sesuatu termasuk dalam bidang akademik dengan tidak plagiasi.
“Plagiasi ini merupakan bibit koruptor, bagaimana tidak, dia saja berani membohongi dirinya sendiri apalagi ketika mendapatkan amanat atau jabatan, ketika ada kesempatan dia bisa membohongi rakyat dan negara dengan korupsi,” ujarnya.
Salah satu kutipan pada pembukaan UUD alinea 4 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, merupakan bukti kaitannya intelektualisme dengan tujuan kita bernegara. Negara dimerdekakan dan mendirikan pemerintahan agar dapat mencerdaskan rakyatnya dan kehidupan bangsanya. Dalam pasal 31 UUD 1945 ditekankan bahwa pendidikan diselanggarakan untuk memajukan IPTEK dan IMTAQ serta akhlaq.
“Inilah fungsinya pendidikan tidak hanya pengajaran, adanya penyelarasan antara IPTEK dan IMTAQ,” ujar Prof. Mahfud MD.
Lebih lanjut dipaparkan Prof. Mahfud MD, ilmuan Islam dalam tradisi menekankan ilmu sebagai penguat iman. Orang yang taat, amanat dan beriman adalah yang berilmu dan semakin memperdalam ilmunya. Rasulullah SAW mengutus istrinya untuk belajar membaca dan menulis. Karena memang saat itu orang Arab masih dalam suasana jahiliyah.
Setelah Rasulullah SAW wafat maka muncullah Alfarahidi dengan membuat kamus pertama di dunia yakni Qamus Al Ain. Pada saat itu Islam menguasai peradaban dengan sebutan peradaban Islam. Pada saat itu Rasulullah SAW memerintahkan untuk mengembangkan ilmu dengan menyerap ilmu dari barat seperti Yunani. Ilmu semakin berkembang di Arab dan justru meredup di barat.
Disampaikan Prof Mahfud MD Islam menekankan pada watak intelektualisme dan kecendekiawanan dengan tiga pilar pengembangan IPTEK yakni integrasi agama dan ilmu kemudian berwawasan rasional tetapi menolak rasionalisme serta memihak pada nilai-nilai kemaslahatan bagi umat manusia.
Namun muncul tantangan baru untuk intelektualisme ini yakni digitalisasi yang serba instan khususnya di era Millenial, Z dan Alpha.
“Oleh karena itu kita harus tetap merawat intelektualisme untuk merawat kemajuan bangsa dan keselamatan ilmu,” pungkasnya.