Peran Obat Herbal Sebagai Anti Inflamasi dan Antivirus
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) menyelenggarakan seminar nasional bertemakan “Obat Herbal Indonesia Revolusi Industri 4.0 di Tengah Globalisasi Virus” pada 19-21 Februari 2021. Seminar menghadirkan narasumber dosen Program Studi Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII, Hady Anshory T, S.Si., M.Sc., Apt. dengan topik “Pemanfaatan Yacon sebagai Antidiabetes”. Nrasumber berikutnya yang dihadirkan yakni dosen FK UII, Dr.dr. Isnatin Miladiyah, M.Kes, yang membahas tentang “Proses Transformasi Senyawa Aktif Herbal Menjadi Senyawa Sintetik”.
Hadi Anshory menjelasan yacon memiliki nama latin smallanthus sonchifolius yang masuk ke family compositae/asteraceae/melampodium. Ciri-ciri tanaman ini adalah daunnya bebentuk hati dengan panjang sekitar 40cm dan lebar 30cm, batang basah, tinggi bisa mencapai 2m, bunganya persis seperti bunga matahari. Tanaman ini akan tumbuh optimal di Indonesia di ketinggian di atas 500 mdpl, seperti di Wonosobo, Lembang, dan Tawangmangu.”
Disampaikan Hadi Anshory, secara ilmiah aktivitas antidiabetes daun yakon telah banyak diteliti di banyak negara seperti Jepang, Korea, Ukraina, Portugal, Argentina. Tanaman Yacon ini berasal dari Pegunungan Andes di Amerika Latin.
“Mekanisme antidiabetes yang dilakukan oleh ekstrak daun yacon adalah dengan meningkatkan sekresi insulin, selain itu dapat menghambat aktivitas enzim aglukosidase. Berdasarkan penelitian Baroni et al, 2014 disebutkan jika daun yacon bisa menghambat proses glikogenelisis dan glukoneogenolisis. Mekanisme diatas adalah untuk mengatasi diabetes tipe II,” papar Hadi Anshory.
“Kandungan senyawa dalam ekstrak daun yacon ada enhydrin, uvedalin, dan sonchifolin. Kandungan yang paling banyak adalah enhydrin sekaligus senyawa yang paling ampuh untuk antidiabetes. Uji keamanan ekstrak daun yakon menunjukan jika tidak ada efek tertentu selama digunakan sesuai dosis yang sesuai,” imbuh Hadi Anshory.
Pada pemaparan materi kedua Isnatin Miladiyah menjelaskan senyawa bahan alam (natural products) adalah bahan kimia dari organisme hidup dengan berbagai struktur dan potensi aktivitas farmakologis. Lebih dari 50% obat yang disetujui oleh FDA (Foon and Drugs Administration) dalam 25 tahun terakhir berasal dari senyawa alam. Senyawa bahan alam dapat berasal dari tanaman, mikroorganisme, biota laut, bisa, dan racun.
“Mengembangkan senyawa alam untuk menjadi obat memiliki banyak tantangan seperti prosedur standarisasi, time-consuming, harga mahal, kurang murninya isolasi senyawa. Selain itu kurangnya penjelasan mengenai mekanisme biologis senyawa sekaligus risiko sinergitik dan antagonistik dari dua atau lebih konstituen yang hilang selama proses separasi,” jelasnya.
Isnatin Miladiyah mengemukakan, berdasarkan Hong, 2014 sintesis senyawa alam pertama kali dikembangkan adalah pada tahun 1828 oleh Friedrich Wohler yang mensintesis urea dari ammonium sianat (NH4NCO). Percobaan tersebut merupakan awal kimia organik modern dan sintesis senyawa alam yang terus berkembang sampai abad ini,” jelas Isnatin Miladiyah.
Lebih lanjut disampaikan Isnatin Miladiyah, tantangan dalam mengembangkan senyawa alam untuk menjadi obat bukan berarti tanpa solusi. Kami berusaha untuk menemukan solusi seperti memanfaatkan teknologi seperti combinatorial chemistry dan high-throughput screening/HTS. Selain itu dapat juga menggunakan teknik isolasi dan karakterisasi (HPLC-MS atau HPLC-NMR) untuk penjelasan struktur senyawa.
Di akhir acara Isnatin Miladiyah menjelaskan senyawa sintesis dalam pengembangan obat baru dimana bisa menggunakan SBDD (structure-based drug discovery) dan LBDD (ligand-based drug discovery). SBDD dapat menggali mengenai informasi struktur protein target sebagai basis dari kristalogi sinar X atau nuclear magnetic resonance (NMR) dan juga molecular docking yang dapat memprediksi mekanisme aksi. (UAH/RS)