,

Penyandang Disabilitas Berhak Mendapat Akses Keadilan

Dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII (PSH FH) menyelenggarakan diskusi aktual “Access to Justice bagi Penyandang Disabilitas”. Diskusi ini diselenggarakan secara virtual melalui Zoom Meeting Online pada Sabtu (4/12). Pembicara yang hadir di antaranya M. Syafi’ie, S.H., M.H. (Dosen FH UII), Yeni Rosa Damayanti (Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat), dan Delsy Nike (Komnas HAM RI).

Syafi’ie mengatakan konsep aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dapat berupa sistem peradilan yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Kedua, sistem yang dapat menghasilkan keputusan yang adil bagi semua kalangan. Ketiga, keadaan dan proses di mana negara menjamin pemenuhan hak berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Prinsip-Prinsip Universal Hak Asasi Manusia (HAM).

Di Indonesia, pemenuhan hak-hak disabilitas telah dijamin oleh UU No. 19 Tahun 2019 yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Beberapa permasalahan yang sering terjadi berkaitan dengan pemenuhan hak disabilitas, seperti masih banyak para penegak hukum yang belum aware terhadap penyandang disabilitas, fasilitas di peradilan belum cukup menjangkau kebutuhan para disabilitas, dan minimnya akses ekonomi bagi kaum disabilitas.

“Artinya secara struktural, teman-teman difabel itu memang rentan. Karena itu, dalam konteks accessibility justice, hari ini yang saya kira harus diubah adalah sistem dan strukturnya. Agar teman-teman difabel ini bisa sekolah di sekolah yang inklusif, dalam konteks pekerjaan juga dibuka secara fair, secara umum. Sehingga ke depan, temen-temen difabel ini sama dengan manusia pada umumnya,” ujarnya.

Selanjutnya, Yeni Rosa mendefinisikan penyandang disabilitas berdasarkan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Terkait hambatan disabilitas, menurutnya, hal ini dapat dibagi menjadi tiga hal, yaitu hambatan sikap, hambatan lingkungan, dan hambatan institusional atau struktural.

Yeni mengatakan, hambatan attitudinal disabilitas psikososial, terjebak dalam model disabilitas masa lampau, yaitu moral model, charity model, dan medical model. Pertama, moral model yaitu orang menganggap disabilitas mental sebagai orang yang mendapat hukuman dari Tuhan, kesurupan makhluk halus, kurang sholat, dll. Dengan anggapan tersebut, para penyandang disabilitas mental biasanya akan dijauhi dan disingkirkan agar tidak menjadi ancaman atau hal yang berbahaya bagi masyarakat.

Kedua, charity model yaitu orang menganggap disabilitas mental sebagai orang yang malang dan tragis nasibnya. Biasanya mereka akan memberikan sumbangan kepada para penyandang disabilitas mental, diantaranya yaitu dari orang-orang dermawan, lembaga-lembaga sosial, lembaga-lembaga agama, dll.

Ketiga, medical model yaitu orang beranggapan bahwa disabilitas itu bisa disembuhkan. Mereka menganggap disabilitas seperti orang yang rusak, sehingga harus diperbaiki, dengan memberikan alat bantu, melatih bicara, dll. Biasanya hal ini dilakukan oleh dokter, perawat, suster, dll.

Dan keempat, sosial model yaitu orang yang beranggapan bahwa permasalahan utamanya bukan pada penyandang disabilitas, tetapi pada lingkungan yang tidak mendukung para disabilitas untuk dapat turut berpartisipasi di masyarakat. Dalam hal ini yang bertanggungjawab adalah negara, kementerian, dan masyarakat.

Yeni mengatakan, penempatan para disabilitas mental di panti-panti sosial sebagai sebuah bentuk perampasan kebebasan yang merupakan bagian dari pelanggaran HAM. Namun, masih banyak orang yang menganggap hal itu sebagai hal yang wajar. Bahkan mendapat penghargaan atas tindakan tersebut. Untuk mengatasi itu semua, menurutnya perlu diubah anggapan-anggapan terhadap penyandang disabilitas tersebut, serta dibentuk peraturan-peraturan yang relevan.

Selanjutnya, Delsy menggarisbawahi bahwa dalam hal pelayanan kesehatan hal ini harus memenuhi dua aspek, yaitu pelayanan kesehatan umum dan pelayanan kesehatan yang harus disesuaikan dengan ragam disabilitas. Pemerintah wajib menjamin pelayanan kesehatan yang sama dengan warga negara pada umumnya, obat-obatan yang berkualitas, dan penyandang disabilitas juga berhak untuk dilibatkan dalam menentukan kondisi kesehatannya sendiri.

Menurutnya, terkait pendidikan inklusif, di Indonesia hanya terdapat sekitar 18% penyandang disabilitas yang sudah mengenyam pendidikan inklusif. Hal ini tentu masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia. Penyediaan pendidikan dan akomodasi bagi penyandang disabilitas ini menjadi tugas pemerintah daerah setempat sebagai bentuk pemenuhan terhadap hak-hak disabilitas. (EDN/ESP)