Penguatan Komisi Yudisial Dinilai Mendesak
Forum Kajian dan Penulisan Hukum Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FKPH LEM FH UII) bekerja sama dengan Komisi Yudisial Republik Indonesia (KY RI) menyelenggarakan Seminar Nasional “Rekonstruksi Kedudukan dan Peranan Komisi Yudisial dalam Mengawasi Perilaku Hakim”. Seminar Nasional ini diselenggarakan secara langsung di Auditorium Lt. 4 Gedung FH UII dan disiarkan juga secara live melalui kanal youtube FKPH FH UII pada Sabtu, (12/11).
Beberapa pembicara yang turut hadir, di antaranya yaitu Ketua KY RI, Prof. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum. sebagai Keynote Speaker, Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum., (Hakim Konstitusi RI Periode 2003-2008 dan 2015-2020), Dr. H. Hamdi, S.H., M.Hum. (Hakim Agung MA RI), Dr. Hj. Siti Nurdjanah, S.H., M.H. (Anggota KY RI), dan Fadli Ramadhani, S.H., M.H. (Peneliti Perludem) sebagai Pembicara Seminar Nasional, serta turut hadir juga pimpinan FH UII yaitu Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan, dan Alumni FH UII, Drs. Agus Triyanta, M.A., M.H., Ph.D.
Agus Triyanta dalam sambutannya menyampaikan bahwa KY RI merupakan lembaga yang kompeten dan otoritatif untuk melakukan pengawasan terhadap para hakim. Judicial corruption atau penyelewengan peradilan bukan hal yang terjadi saat ini saja. Melainkan sudah terjadi sejak hukum yang ditegakkan oleh Raja Babilonia Hammurabi pada 2200 tahun sebelum masehi (SM) juga sudah mengatur adanya kejahatan-kejahatan berupa penyuapan untuk hakim maupun untuk saksi.
Kemudian, Mukti Fajar menyampaikan bahwa lembaga peradilan saat ini tengah banyak terjadi pelanggaran. Setidaknya terdapat kurang lebih 23 hakim yang terjerat kasus korupsi sejak tahun 2015-2022 dan ditambah banyaknya putusan yang memberikan diskon kepada koruptor. Hal ini menurutnya merupakan indikasi yang perlu ditelusuri, apakah putusan tersebut memang wajar hadir atau apakah ada sesuatu yang kurang wajar dll.
Terhadap hal tersebut, KY yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku Hakim MA menjadi tempat mengadu untuk mendapatkan keadilan. Namun, ada beberapa hal yang menjadi kelemahan KY, yaitu: Pertama, berkaitan dengan substansi hukum. KY kerap kali dihilangkan kewenangannya untuk melakukan pengawasan terhadap hakim, terutama hakim MK namun pada praktiknya KY kembali dimasukkan sebagai bagian dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk melakukan penilaian (pengawasan) terhadap kinerja hakim konstitusi.
Kedua, terkait struktur hukum, KY merupakan lembaga yang eselon 1 nya hanya satu, dengan jumlah tim kurang lebih 300 orang. Sementara, kantor penghubung KY belum mendapat status pengakuan seperti halnya kantor peradilan, sehingga tugas dan kewenangannya terbatas. Inilah menurutnya yang secara struktur membuat KY tidak bisa cepat dan efektif mengawasi kekuasaan kehakiman, terutama terhadap kurang lebih 960 sektor pengadilan di seluruh Indonesia dengan total jumlah hakim sekitar 9.000 orang.
Ketidakseimbangan jumlah pengawas dengan orang diawasi inilah menjadi salah satu penyebab pengawasan KY tidak berjalan secara efektif, mengingat tim KY yang menjalankan fungsi hanya sekitar 90-150 orang. Ketiga, budaya hukum yakni sarana dan prasarana yang dimiliki KY sangat minim sehingga KY tidak dapat bekerja dengan cepat. Server KY tidak cukup untuk mencatat provider dalam melakukan pendataan terhadap seluruh hakim yang ada di Indonesia. Keempat, tunjangan kerja bagi komisioner KY paling rendah dari pada rumpun peradilan yang ada di Indonesia.
Selanjutnya, Mukti Fajar mengatakan ada beberapa hal yang perlu dikuatkan dari KY, yaitu: Pertama, terkait penguatan kewenangan dan penguatan kelembagaan. Pada penguatan kewenangan, ketika KY menerima laporan masyarakat dan melakukan pemeriksaan terhadap hakim, apabila salah tidak perlu adanya rekomendasi, khususnya yang ringan. Hal ini menurutnya dapat dilakukan melalui dua cara, yakni melalui putusan KY sendiri atau melalui pemeriksaan bersama.
Kedua, terkait dengan kewajiban untuk mendapat informasi, KY wajib diberi informasi oleh lembaga manapun yang diminta oleh polisi saat melakukan pemeriksaan. Ketiga, tentang seleksi hakim agung, KY memiliki metode yang jelas. KY memiliki buku kompetensi yang mengatur terkait mekanisme tes calon hakim selama 6 bulan, yang meliputi tes keilmuan, tes kesehatan, asesmen kepribadian, hingga rekam jejak. Setelah itu tahap seleksi kemudian dilanjutkan sesi wawancara. Pasca sesi wawancara inilah akan terpilih calon-calon hakim terbaik yang diserahkan dari KY ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Setelah tahap tersebut, KY tidak memiliki kewenangan lagi untuk menanyakan kepada DPR terkait siapa yang akan terpilih menjadi hakim agung. Sebab menurutnya, jika hal tersebut dipertanyakan maka dapat membangun prasangka terkait kemungkinan terjadinya konflik kepentingan antara KY dan calon yang diusulkan. Keempat, terkait penguatan lembaga, komisioner KY melakukan tugasnya tanpa perlindungan dan tanpa hak imunitas. Sehingga, pernah terjadi dua kali komisioner KY menjadi tersangka ketika menjalankan tugasnya pada saat membuat statemen, lalu dilaporkan pencemaran nama baik dan kemudian diproses.
“Saya mengisi keynote speaker ini dengan harapan supaya teman-teman dapat mengikuti Seminar Nasional ini dan mendiskusikannya untuk menjadi bahan dasar kalian dalam melakukan penguatan. Lembaga ini, lembaga peradilan kita baik KY, MA, atau lembaga-lembaga penegak hukum tidak perlu dibubarkan, jangan sampai dibubarkan. Tetapi, perlu dibangun dan dibenahkan kembali. Masukan-masukan dari anda sebagai akademisi apa dan bagaimana cara kita melakukan perbaikan-perbaikan lembaga-lembaga tersebut itulah yang kami harapkan dari seminar pagi hari ini. Teruslah berjuang, kalau lelah bersandarlah, dan jangan pernah menyerah. Hukum kadang tegar, hukum kadang runtuh, tapi jangan pernah berhenti di balik keadilan,” pungkasnya. (EDN/ESP)